TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal meningkatkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pengamat ekonomi sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengatakan kenaikan PPN bakal menggerus konsumsi masyarakat sehingga memperlambat ekonomi. Terlebih, kenaikan PPN datang di tengah kondisi ekonomi RI nan sedang melambat.
“Kalau situasi perlambatan ekonomi terjadi, kemudian ditambah lagi dengan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan PPN, ya, otomatis secara umum kelak bakal menggerus pada konsumsi,” kata Eko dalam obrolan publik nan berjalan secara daring pada Senin, 18 November 2024.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, juga mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN bakal berakibat pada kenaikan biaya produksi. Alurnya dimulai dari sektor industri nan membeli bahan baku untuk diolah menjadi bahan separuh jadi, kemudian bahan separuh jadi itu kembali dibeli oleh industri dengan PPN.
“Itu mereka terkena PPN juga. Kemudian kita beli peralatan di pasar alias di mana pun, kena PPN. Sehingga bakal meningkatkan biaya produksi dan biaya konsumsi, dan ini bakal melemahkan daya beli,” tuturnya.
Imbas dari daya beli lemah, kata dia, bakal berujung pada penjualan nan tidak optimal lantaran permintaan melambat. Misal, sebuah toko mempekerjakan lima orang, namun lantaran utilisasinya tidak maksimal maka bakal dikurangi aspek produksi termasuk penggunaan tenaga kerja. Entah para pekerja dikurangi jam kerjanya, alias jumlah tenaga kerja dipangkas.
“Pendapatan menurun, dan tentu saja konsumsi menurun, sehingga ini bakal menghalang pencapaian sasaran pertumbuhan,” ujar Heri.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 bakal berkapak pada tekanan daya beli kepada masyarakat.
"Karena perusahaan penyedia peralatan jasa, biasanya tidak mau menanggung PPN, sehingga jalan biasanya nan mereka ambil adalah mengalihkan beban kenaikan PPN ini ke konsumen dengan langkah meningkatkan harga," ujar Ronny seperti dilansir dari Antara.
Ronny mengatakan kenaikan nilai peralatan dan jasa jika tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat maka bakal semakin menekan permintaan terhadap produksi peralatan dan jasa serta berkapak dari sisi produksi.
"Kenaikan (PPN menjadi 12 persen) nan sedikit ini bakal menambah tekanan daya beli kepada kelas menengah dan kelas menengah ke bawah nan memang pendapatannya sangat sangat tertekan dalam dua tahun terakhir sejak pasca pandemi," katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, merekomendasikan penundaan terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 guna mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi nan lebih tinggi.
"Ditunda mestinya, jadi it's not a good timing. Itu jika kita berbincang masalah mengatasi kesenjangan ekonomi pada saat sekarang, dan juga sasaran pertumbuhan ekonomi, lantaran sasaran pertumbuhan ekonominya mau lebih tinggi kan," ujar Faisal di Jakarta, Selasa.
Faisal menjelaskan produk peralatan jadi seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, furnitur bakal mengalami penurunan pembelian saat dikenakan PPN 12 persen. Barang-barang tersebut, kata Faisal, lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat dari kelas menengah, nan total nilai konsumsinya mencapai 84 persen.
Sementara itu, ahli ekonomi dari Center of Economics and Law Studies, Nailul Huda, mengatakan penerapan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan nan dapat dibelanjakan (disposable income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
Dia berambisi pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah. “Jika diterapkan bakal meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
ANTARA | ILONA ESTHERINA