Thohirin
Punya minat pada jurnalistik sejak SMA. Sekarang wartawan politik di CNNIndonesia.com.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi
CNNIndonesia.comJakarta, CNN Indonesia --
Untuk saat ini, sebaiknya mari kita bermufakat bahwa PDIP akan berada di luar --jika tak mau disebut oposisi-- pada pemerintahan Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.
Meski sejumlah politikus PDIP, apalagi termasuk Puan Maharani, mengaku bakal mendukung pemerintahan ke depan, serta Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto telah mengucapkan selamat usai Prabowo-Gibran resmi dilantik, faktanya pernyataan itu belum keluar langsung dari mulut Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Kedua, sikap resmi PDIP untuk berada di luar alias oposisi maupun berasosiasi ke pemerintahan, sebetulnya hanya bakal dianggap resmi jika disampaikan Megawati. Sementara hingga saat ini, Megawati nampaknya bergeming merespons dinamika nan ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kebenaran itu, ditambah pertemuan Megawati dengan Prabowo belum terjadi, sebaiknya kita bermufakat Partai Banteng Moncong Putih secara de facto bakal beroposisi pada pemerintahan Prabowo-Gibran.
Belum lagi tak ada nama kader PDIP pada kabinet nan dilantik Prabowo. Sejumlah nama nan sempat beredar sebelumnya, seperti Azwar Anas dan Bendahara Umum Olly Dondokambey sekarang juga mulai lenyap dari perbincangan publik.
Lalu, gimana dengan Budi Gunawan?
BG memang pernah menjadi ajudan Megawati saat menjadi Presiden, serta dipertahankan Mega menjadi Kapolri pada 2015. Kini, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu resmi mendapat posisi baru sebagai Menko Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di kabinet Prabowo.
Namun, baik Hasto maupun Puan telah menegaskan BG bukan kader partai sehingga daftar namanya di Kabinet Merah Putih Prabowo murni mewakili golongan profesional.
"Pak BG masuk dalam kalangan profesional," kata Puan usai pelantikan Prabowo-Gibran di kompleks parlemen, Jakarta, Minggu (20/10).
Dejavu Megawati
Sikap bergeming Megawati pada pemerintahan baru kali ini tampaknya bakal mengulang sejarah PDIP menjadi fraksi oposisi pada pemerintahan SBY-Jusuf Kalla periode 2004-2009. Kala itu, pada periode pertama SBY, PDIP notabene menjadi satu-satunya partai di parlemen nan mendeklarasikan diri sebagai oposisi.
Di parlemen, jumlah 109 bangku PDIP (19,8 persen), nan berada di urutan kedua terbanyak di bawah Golkar, berhadapan dengan sembilan fraksi lainnya yang menggenggam total 441 bangku (80,2 persen).
Mega menyatakan sikap resminya untuk beroposisi tepat pada seremoni ulang tahunnya ke-58 pada 23 Januari 2005, dan diresmikan lewat Kongres kedua partai pada 28 Maret-1 April 2005 di Bali. Dia pun melarang kader PDIP untuk masuk di kabinet Indonesia Bersatu Jilid I.
Sikap resmi PDIP tertuang dalam arsip berjudul "Sikap dan Kebijakan PDIP 2005-2010" nan di dalamnya antara lain berisi pembentukan kabinet gambaran sebagai media kritik kepada pemerintah. Hal ini kemudian terwujud saat Megawati mengumumkan struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP untuk lima tahun ke depan.
Kini, meski belum menyatakan sikap resmi partainya, Megawati secara diam-diam terbang ke Bali. Tentu kepergian Megawati ke Pulau Dewata di tengah hiruk pikuk dan ontran-ontran pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden-Wakil Presiden baru, bukan satu kebetulan.
Dengan tidak menghadiri pelantikan, Megawati seolah mau mengirim sinyal bahwa partainya bakal mengulang sejarah sebagai oposisi dari tempat nan sama nan menjadi pedoman partainya, Bali.
Di pulau nan sama saat ia ambil keputusan oposisi pada 2004.
Masih separuh hati?
Pertanyaannya, kenapa hingga saat ini Megawati tak kunjung menyatakan sikap PDIP berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran? Sikap PDIP untuk beroposisi terkesan tetap separuh hati apalagi memandang pernyataan sejumlah elit partai, terutama Puan Maharani.
Bahkan, mereka nan biasanya bersikap keras selama Pilpres lalu, sekarang terlihat melunak.
Hasto misalnya. Selain mengucap selamat atas pelantikan Prabowo-Gibran, dia juga memuji pidato perdana Prabowo nan menyebut nama Bung Karno dan kepemimpinan Megawati saat menjadi Presiden.
"Juga ketika Pak Prabowo menyampaikan gimana kepemimpinan Ibu Megawati bisa menyelesaikan beragam krisis multidimensi," katanya saat menemani Mega di Bali.
Sikap sejumlah elit PDIP nan mulai tampak melunak itu seolah jadi sinyal partai tersebut takkan bersikap keras seperti saat jadi oposisi pemerintahan SBY.
Selama kurun waktu itu, PDIP beberapa kali tercatat melancarkan tindakan protes keras. Mereka misalnya sempat melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah SBY pada 2006, nan menetapkan ExxonMobil sebagai lead operator Blok Cepu.
Memasuki periode kedua pada 2009, PDIP membuka pemerintahan SBY dengan menggulirkan kewenangan angket mengenai kasus Bank Century. Wacana itu disampaikan bertepatan dengan hari pelantikan SBY dan Budiono sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 pada 1 Oktober 2009.
Selain dua kasus itu, tak terhitung penolakan mereka terhadap wacana kenaikan BBM nan juga memancing reaksi keras dari publik.
Lalu, benarkan PDIP bakal mulai melunak ke depan?
Ketua Fraksi PDIP di DPR, Utut Adianto tak menutup-nutupi sikap fraksi partainya bakal mulai melunak dan tak sekeras dulu. Menurut Utut, semangat era telah berubah dan masyarakat tak simpati pada sikap oposan.
Di sisi lain, Utut menganggap kegunaan check and balances bagi DPR tak lebih hanya term nan lezat didengar di telinga dan disukai golongan akademisi.
Faktanya, kata dia, posisi PDIP adalah satu-satunya partai nan belum menyatakan dukungan. Bukan check and balances jika kudu berhadapan dengan tujuh fraksi lain di DPR, melainkan tak lebih dari dissenting opinion alias perbedaan pendapat.
"Check and balances kalimatnya lezat di kuping. Tapi di lapangannya, ketika misalnya 7 musuh 1 alias 6 musuh 2 itu bukan check and balances, itu dissenting opinion. Doesn't change anything. Doesn't change anything," kata Utut.
Sebenarnya sikap Utut bukan tanpa dasar. Pada Januari 2024 lalu, Indikator Politik merilis hasil survei soal style debat capres-cawapres. Hasilnya, sebanyak 57 persen responden tidak setuju debat diwarnai tindakan saling serang dan menjatuhkan. Sementara, 38,6 persen lain mengaku setuju dan 4,4 persen lainnya tidak menjawab/tidak tahu.
Tapi, hasil survei itu tak bisa diyakini linier dengan dugaan publik nan tak simpatik pada sikap oposan.
Sebab, survei Indikator nan dirilis pada 4 Oktober lampau mengungkap hasil sebaliknya. Bahwa, sebanyak 55,8 persen berambisi ada oposisi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya 29,4 persen nan menyatakan partai-partai di DPR berasosiasi dengan koalisi pemerintahan Prabowo.
Dan lebih spesifik, Indikator merilis survei sikap responden mengenai sikap politik PDIP di parlemen. Hasilnya, 45 persen setuju PDIP menjadi oposisi dan 39,1 persen menolak.
[Gambas:Video CNN]
Sejarah pengkhianatan
Sejarah oposisi PDIP dan Megawati pascareformasi adalah sejarah pengkhianatan. Saat berseberangan dengan pemerintahan SBY pada 2004-2014, keputusan Megawati itu hakul percaya bukan hanya lantaran dia kalah di Pilpres.
Toh faktanya, hingga saat ini hubungan SBY dan Mega tetap dingin. Termasuk pada Pemilu 2024, saat pintu rekonsiliasi antara keduanya terbuka lebar usai Partai Demokrat, partai nan dipimpin putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ditinggalkan Anies Baswedan.
Namun, Partai Demokrat justru berlabuh ke Prabowo. Padahal, sejumlah sumber internal Partai Demokrat menyebut kebanyakan elit partai itu mau agar Demokrat mendukung Ganjar nan diusung PDIP.
Musabab kekecewaan Mega pernah disampaikan politikus senior PDIP, Panda Nababan, dalam sejumlah kesempatan. Megawati, kata dia, kecewa lantaran SBY tak bicara jujur saat ditanya Megawati maju di Pilpres 2004 hingga belakangan keduanya saling berkontestasi.
Pertanyaan itu disampaikan Mega saat SBY menjabat sebagai Menko Polkam di masa pemerintahannya.
Masalahnya, PDIP kala itu bukan tidak pernah diajak untuk berasosiasi dengan pemerintahan SBY. Di periode pertamanya, SBY pernah meminta sejumlah kader PDIP berasosiasi pemerintah (Harian Kompas, 23/11/2005).
Begitu pula pada periode kedua, saat Mensesneg Hatta Rajasa kala itu sempat mendatangi kediaman Megawati pada 6 Mei 2009 (Kompas, 29/6/2009). Belakangan perihal itu diperkuat pernyataan SBY nan menyebut ada kehendak rekonsiliasi kedua partai. Namun, Megawati toh tetap bergeming.
Kini, peristiwa itu terulang saat Presiden Jokowi mencalonkan putranya, Gibran Rakabuming, untuk menjadi musuh PDIP di Pilpres 2024.
Megawati memang tak pernah mengungkap kejengkelannya pada Jokowi alias Gibran sebagai tokoh politik nan dilahirkan PDIP. Namun setidaknya, kesamaan peristiwa saat Mega dikhianati menterinya pada 2004 itu, cukup menjadi argumen Megawati dan PDIP bakal kembali menjadi oposisi.
Lalu, kenapa Megawati tetap tak kunjung menyatakan sikap di luar pemerintahan? Atau memang benar, pemilu kali ini bakal menjadi sejarah PDIP mengubah sikapnya untuk berasosiasi dengan pemenang Pilpres?
Sebagai tokoh politik nan lahir dan besar di masa Orde Baru, Megawati memang dianggap keras dan susah berkompromi, apalagi pada pihak nan mengecewakannya. Namun, sikap partai, nan notabene merupakan sikap politik tentu tak boleh diambil serampangan.
Megawati tampaknya memahami betul penyebab kekalahan kadernya di Pilpres 2024 lalu. Dia tentu tak mau kesalahan itu terulang pada Pilkada nan bakal digelar pada November mendatang setelah presiden baru dibentuk.
Apalagi, Koalisi Indonesia Maju (KIM) nan mengantar kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres bersambung di Pilkada untuk sebagian besar wilayah. Megawati nan kerap jengkel terhadap dugaan praktik abuse of power di Pemilu 2024, kini terlihat sedang menahan diri untuk tidak terlalu reaktif kepada penguasa baru.
(vws)