Deret Jawaban Lima Capim KPK Terpilih Saat Jalani Seleksi di DPR

Sedang Trending 2 hari yang lalu

Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi III DPR telah memilih lima Capim KPK untuk dilantik setelah diuji kepatutan dan kepantasan (fit and proper test) secara maraton selama empat hari pada pekan ini.

Deretan calon ketua KPK telah melontarkan sejumlah pernyataan dalam uji kepatutan dan kepantasan (fit and proper test) nan dilaksanakan di Kompleks Parlemen, Senayan, sejak Senin (18/11) hingga Kamis (21/11).

Tes tersebut digelar Komisi III DPR RI dan diikuti 10 nama calon ketua KPK. Selain capim KPK, Komisi III DPR juga melakukan fit and proper test terhadap 10 calon personil Dewan Pengawas KPK (Dewas KPK), dan memilih lima di antaranya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masing-masing lima dari 10 nama tersebut dipilih dan ditetapkan sebagai ketua serta Dewan Pengawas KPK dalam rapat pleno Komisi III DPR pada Kamis (21/11). Lima capim KPK yang terpilih dalam proses di DPR itu adalah Setyo Budiyanto, Johanis Tanak, Fitroh Rohcayanto, Agus Joko Pramono, dan Ibnu Basuki Widodo.

Dan, Berikut pernyataan menonjol lima capim saat ikut seleksi di Komisi III DPR:

Setyo Budiyanto

Jenderal polisi bintang tiga ini akhirnya dipilih untuk menjadi Ketua KPK periode 2024-2029 mendatang setelah mengikuti fit and proper test di DPR. Saat proses fit and proper test di Komisi III DPR itu, Setyo mendorong uji materi terhadap Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, lantaran condong mempunyai potensi mengkriminalisasi seseorang.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, "Setiap orang nan secara melawan norma melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri alias orang lain alias suatu korporasi nan dapat merugikan finansial negara alias perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak Rp1 miliar."

Sedangkan, Pasal 3 berbunyi, "Setiap orang nan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri alias orang lain alias suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan alias sarana nan ada padanya lantaran kedudukan alias lantaran kedudukan nan dapat merugikan finansial negara alias perekonomian negara dipidana seumur hidup, alias pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan alias denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal Rp1 miliar."

Menurut Setyo, menjawab pertanyaan personil Komisi III Bambang Soesatyo, pasal-pasal tersebut kerap menyulitkan interogator lantaran dinilai bias dan berpotensi menjerat penyelenggara negara dalam pengambilan keputusan.

"Menurut kami sebaiknya ada judicial review alias mungkin peninjauan kembali di Mahkamah Konstitusi sehingga pengambil kebijakan tidak disalahkan," kata mantan Direktur Penyidikan KPK itu.

Selain itu, Setyo pun menegaskan pentingnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) nan dilakukan KPK dalam memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Dia pun berambisi giat OTT KPK terus dilanjutkan.

"Menurut kami OTT itu tetap diperlukan, kenapa diperlukan? OTT adalah pintu masuk terhadap perkara-perkara nan diperlukan untuk bisa membuka perkara nan lebih besar," kata Setyo dalam penjelasannya di hadapan personil Komisi III DPR pada Senin (18/11).

Setyo menyampaikan bahwa OTT telah terbukti menjadi metode efektif dalam mengungkap praktik korupsi nan susah dilakukan hanya dengan pemanggilan tersangka.

Johanis Tanak

Johanis Tanak adalah capim petahana KPK. Dalam kesempatan seleksi di hadapan personil dewan, Tanak mengaku bakal menghapus operasi tangkap tangan (OTT) andaikan menjadi Ketua KPK. Pernyataan Tanak itu spontan disambut antusias personil DPR nan datang dengan bertepuk tangan.

Tanak mengaku dirinya menilai konsep OTT tak sesuai dengan KUHAP. Sejumlah personil majelis pun bertepuk tangan usai Tanak menyampaikan perihal itu. Selain itu, Menurut Tanak, secara terminologi bahasa maka arti OTT yang diterapkan KPK itu tidak tepat.

KBBI, kata dia, operasi adalah serangkaian aktivitas nan telah dipersiapkan layaknya dilakukan seorang dokter. Sementara menurut KUHAP, tertangkap tangan menghendaki penangkapan nan dilakukan seketika dan tanpa perencanaan.

Selain itu, Tanak menjelaskan konsep OTT nan bertindak saat ini dilakukan berasas surat perintah nan berfaedah telah direncanakan.

Kendati demikian, Tanak mengaku tak bisa melakukan banyak lantaran perihal itu telah disepakati kebanyakan ketua KPK sebelumnya.

"Saya sudah sampaikan pada teman-teman. Saya pribadi, tapi lantaran lebih kebanyakan mengatakan itu menjadi tradisi, ya apakah ini apakah ini tradisi bisa diterapkan saya juga enggak bisa juga menantang," tutur Tanak.

Pada kesempatan itu, Tanak juga menilai KPK seharusnya tak dikepalai seorang Ketua KPK, lantaran kepemimpinan lembaga antirasuah itu berkarakter kolektif kolegial di antara lima komisioner.

Menurut capim KPK petahana itu, cukup ada koordinator nan digilir setiap tahun di antara para komisioner KPK.

"Idealnya tidak ada ketua, nan idealnya hanya koordinator saja. Koordinator ini dari lima setiap tahun ganti-ganti saja. Periode satu tahun ini si A dan periode tahun berikutnya si B," tambahnya.

"Pimpinan saja, jika ketua dia punya kedudukan nan sama. Kalau ketua rasanya ada perbedaan hierarki, sehingga terjadi ketimpangan," imbuh Tanak dalam penjelasannya di hadapan personil DPR.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) menyampaikan keterangan pers mengenai penetapan tersangka ialah Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah Ben Brahim S Bahat (kanan) dan personil DPR Fraksi NasDem Ary Egahni di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/3/2023). KPK menetapkan pasangan suami istri tersebut sebagai tersangka mengenai dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah wilayah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dengan jumlah duit nan diterima tersangka sebesar Rp8,7 miliar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) menyampaikan keterangan pers mengenai penetapan tersangka tipikor yakni seorang bupati dan personil DPR  di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/3/2023). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Fitroh Rohcahyanto

Dalam paparannya saat fit & proper test, Fitroh menganggap bahwa Pasal 2 dan 3 UU Tipikor bias dan bisa multitafsir.

Menurut Fitroh, setiap pengadaan proyek oleh pemerintah pasti ada pihak nan diuntungkan. Jika untung nan dimaksud merupakan tujuan, semua pihak nan diuntungkan tersebut bisa dijerat kasus korupsi.

Fitroh menilai bahwa Pasal 2 dan 3 semestinya dimaknai jika untung nan didapat dilakukan dengan langkah menabrak hukum.

"Tetapi jika perspektif pandangnya kemudian nan krusial ada kerugian negara, nan krusial ada orang lain hukum, ini sangat bahaya," tuturnya.

Fitroh pun mengaku bakal berhati-hati dalam penggunaan dua pasal itu agar tak keliru menangkap alias menetapkan seseorang sebagai tersangka.

"Saya yakini ketika kita kejam sama orang, pasti dibalas ketika kita tetap di dunia. Makanya ada di dalam norma dikenal itu, lebih baik melepaskan 100 orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah. Dan saya percaya itu," kata Fitroh.

Buka laman selanjutnya.


Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional