Ekonom Ideas Ungkap Kelemahan Tapera yang Memicu Penolakan Pekerja dan Pengusaha

Sedang Trending 5 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menanggapi program Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Program nan berpijak pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2024 ini mendapatkan banyak kritik dan penolakan.

“Kebijakan nan bermaksud menghimpun dan memupuk biaya pembiayaan pembangunan perumahan rakyat itu lahir dari kecenderungan semakin mahalnya nilai rumah. Sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat,” kata Yusuf kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin malam, 3 Juni 2024.

Namun langkah pemerintah memaksa para pekerja untuk menabung dengan langkah memberlakukan pungutan wajib Tapera kurang tepat sehingga menuai penolakan keras dari pekerja sekaligus pengusaha. “Ada banyak argumen nan melatari perihal ini,” tutur dia.

Yusuf juga merespons percepatan pembangunan 1 juta unit rumah. Menurut dia, beberapa kebijakan esensial untuk percepatan 1 juta unit rumah rakyat per tahun ini—yang krusial—setidaknya ada lima perihal utama. Pertama, support anggaran nan memadai dan dikembalikannya Kementerian Perumahan Rakyat. Sejak penggabungan Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat, pembangunan perumahan rakyat menjadi condong terabaikan. 

“Kalah dari gemuruh pembangunan prasarana di era Presiden Jokowi,” kata dia.

Alasannya, alokasi anggaran pembangunan perumahan rakyat selalu minimalis. Termasuk untuk subsidi perumahan rakyat nan hanya di kisaran 250 ribu unit. Kedua, komitmen penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat, terutama di wilayah perkotaan dengan lahan terbatas. Dengan pemberian kemudahan dan insentif, biaya pembangunan rumah rakyat dapat ditekan. “Dukungan penuh dari pemerintah wilayah absolut dibutuhkan di sini,” ucap dia.

Ketiga, dia menjelaskan, komitmen meminimalkan biaya produksi dan nilai jual rumah rakyat, kudu diikuti dengan komitmen meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan subsidi, pembebasan Kredit Pemilikan Rumah (PPN), hingga kemudahan akses pembiayaan perbankan menjadi krusial di sini. Keempat, revitalisasi badan upaya milik negara alias BUMN untuk percepatan pembangunan perumahan rakyat, terutama Perumahan Nasional, PLN, dan PDAM untuk agunan pasokan listrik dan air bersih.

“Di saat nan sama, dibutuhkan support dari developer swasta terutama melalui tanggungjawab pembangunan rumah murah,” kata dia. Terakhir, mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku kembang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) perbankan nasional. Suku kembang KPR di Indonesia saat ini tetap sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Bila suku kembang KPR di Singapura hanya di kisaran 3 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 6 persen, maka di Indonesia di kisaran 10 persen,” ujarnya.

Menurut dia, dengan suku kembang KPR tinggi dan umumnya berkarakter floating, maka peminjam KPR selain dibebani biaya nan sangat mahal, juga beresiko tinggi jika terjadi kenaikan suku kembang di masa depan. Menurut dia, angsuran rumah nan sangat mahal dan beresiko tinggi inilah salah satu penyebab utama tingginya nomor backlog

“Menjadi krusial bagi pemerintah dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mengarahkan perbankan agar menurunkan tingkat untung mereka dan terus menurunkan suku kembang KPR serta membuatnya berkarakter semakin flat,” ucap Yusuf.

Iklan

Perihal Tapera, Yusuf menjelaskan, kebijakan pemerintah mewajibkan memotong penghasilan sebesar 3 persen dari semua pekerja, baik PNS, TNI dan Polri, pegawai Badan Usaha Milik Negara alias BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hingga pegawai swasta dan pekerja mandiri, secara umum mempunyai tujuan baik. Yaitu mendorong kepemilikan rumah oleh masyarakat terutama kelas bawah.

Dorongan itu diharapkan bakal menghapus backlog—kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah. Secara sederhana ini adalah kebijakan "tabungan wajib" untuk kepemilikan rumah. Di mana 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen dibayar pemberi kerja. Masalahnya, saat ini pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan beragam potongan untuk bermacam program.

Misalnya potongan pada iuran agunan kesehatan, agunan ketenagakerjaan alias agunan hari tua, agunan kematian, agunan kecelakaan kerja, dan agunan pensiun, hingga persediaan pesangon. 

“Tambahan potongan untuk Tapera ini bakal semakin memberatkan pekerja dan pengusaha,” kata Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi Islam dan Bisnis Islam FEUI pada 2013-2015 itu.

Dia juga menilai, waktu penyelenggaraan program Tapera sangat buruk. Pasca Undang-Undang Cipta Kerja, kenaikan bayaran pekerja sangat rendah. Bahkan tak bisa sekadar mengimbangi inflasi. Dengan daya beli dan kesejahteraan nan semakin menurun dalam empat tahun terakhir dibawah rezim UU Cipta Kerja, maka pemotongan penghasilan pekerja untuk Tapera bakal semakin menekan daya beli pekerja nan sudah lemah.

Lebih jauh, kata Yusuf, kebijakan ini juga bakal menambah beban da memperburuk daya saing pengusaha. Tanpa kebijakan ini saja daya saing pengusaha banyak nan sudah lemah, apalagi tidak sedikit nan mengalami kebangkrutan. Menurut dia, pemerintah sebaiknya membatalkan kebijakan potongan untuk Tapera ini dan berfokus pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen family Indonesia menuju zero backlog.

“Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18 persen family nan belum mempunyai rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga. Inilah nomor backlog kita,” ucap staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.

Pilihan Editor: Perusahaan HTI PT Mayawana Persada Diduga Sebabkan Deforestasi Besar di Ketapang, Kalimantan Barat

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis