Ekonom Nilai Program Food Estate akan Efektif jika Pemerintah Libatkan Masyarakat Lokal

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyatakan pemerintah kudu melibatkan masyarakat lokal dan petani mini jika mau program food estate berhasil. Menurut dia, persoalan mendasar dalam penerapan program food estate selama ini lantaran penerapan program ini kerap menitikberatkan pada pendekatan korporasi.

“Pendekatan korporasi dalam pengelolaan lahan condong menimbulkan akibat negatif, baik dari sisi sosial maupun lingkungan,” ujarnya saat dihubungi Tempo Ahad, 13 Oktober 2024.

Achmad menjelaskan, korporasi besar seringkali memaksimalkan produksi dengan mengesampingkan aspek keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Dalam beberapa kasus, kata Achmad, pendekatan ini berakibat pada deforestasi dan penurunan kualitas tanah akibat pemanfaatan berlebihan. "Hal ini justru memperburuk masalah pangan dalam jangka panjang," ungkapnya.

Selain itu, Achmad mengatakan, keberadaan korporasi besar juga dapat menggusur masyarakat lokal dari tanah nan mereka gunakan selama bertahun-tahun. Sehingga, menurut Achmad, program food estate hanya bakal efektif jika masyarakat lokal menjadi inti dari pelaksanaannya. Achmad mendorong agar pemerintah bisa memberdayakan masyarakat lokal dan memberi mereka akses terhadap teknologi modern, pelatihan, dan support prasarana nan memadai.

“Dengan memberdayakan petani kecil, produksi pangan dapat ditingkatkan secara berkepanjangan tanpa kudu mengorbankan ekosistem lokal,” ujar Achmad.

Lebih lanjut, Achmad menjelaskan, pelibatan masyarakat juga memungkinkan adanya pengawasan nan lebih baik terhadap praktik pertanian berkelanjutan. Seperti, penggunaan air nan bijak dan pengelolaan rimba nan lebih bertanggung jawab.

Program food estate, menurut Achmad kudu dirancang agar manfaatnya tidak hanya dirasakan korporasi besar, tetapi juga petani mini dan masyarakat sekitar letak food estate. Sebab, perihal ini tidak hanya bakal membantu meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga menciptakan ketahanan ekonomi nan lebih baik di tingkat lokal. “Tanpa perubahan paradigma ini, program food estate justru berpotensi memperparah ketimpangan ekonomi dan merusak lingkungan, alih-alih memperkuat ketahanan pangan nasional,” ungkapnya.

Iklan

Pemerintah Indonesia sekarang tengah menggarap megaproyek food estate alias lumbung pangan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Terdapat dua proyek lumbung pangan nan sedang digarap di wilayah paling timur Indonesia itu. Keduanya adalah cetak sawah nan diampu oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan perkebunan tebu terpadu nan diawasi langsung oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Tak tanggung-tanggung, dua megaproyek lumbung pangan itu digarap di atas lahan seluas 2,29 juta hektar alias 70 kali luas Jakarta. Dari jumlah itu, seluas 1,11 juta hektare lahan dimanfaatkan untuk membuka perkebunan tebu terpadu, mulai dari kebun tebu, pabrik gula, hingga pabrik bioetanol. Sedangkan, 1,18 juta hektare lahan lainnya digunakan untuk cetak sawah padi.

Sementara itu, klaim nan diberikan pemerintah untuk membangun food estate ini adalah guna mewujudkan swasembada beras pada 2027, serta memenuhi kebutuhan gula dan pabrik bioetanol setahun kemudian.

Penggarapan lumbung pangan itu seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 835 tentang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan seluas 13.540 hektare pada 12 Juli 2024.

Raden Putri Alpadillah Ginanjar berkontribusi dalam berkontribusi dalam tulisan ini.

Pilihan editor: Cerita Bahlil Lahadalia Bisa Dapat Gelar Doktor Kurang dari Dua Tahun

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis