TEMPO.CO, Jakarta - Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences Institut Pertanian Bogor (CTSS IPB) mengembangkan program Youth Food Systems Dialogue and Movement. Program itu merupakan kerjasama CTSS IPB berbareng Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Koppesda, Universitas Kristen Wira Wacana, Critical Pedagogi Indonesia (CPI), dan Papua Democratic Institut, serta dengan didukung The Samdhana Insitute.
Program nan melibatkan empat organisasi anak muda di Bogor, Yogyakarta, Sumba Timur, dan Papua itu mempunyai aktivitas penelitian, pendokumentasian, dan debat tentang pangan lokal. Program itu mengedepankan perubahan dan penguatan sistem pangan untuk menjawab masalah kelaparan serta krisis pangan.
"Penguatan sistem pangan berdasarkan pengetahuan lokal dan digerakkan anak muda menjadi keharusan," kata Kepala CTSS IPB, Damayanti Buchori, dalam keterangan resminya, Kamis, 30 Mei 2024, dikutip Jumat, 31 Mei 2024.
Damayanti menjelaskan, persoalan nan sekarang dihadapi Indonesia adalah makin sedikitnya anak muda nan mau terjun ke sektor pertanian. Selain itu, ancaman nyata nan terjadi saat ini adalah krisis suasana dan terdegradasinya pengetahuan dan sistem pangan lokal nan tersebar di seluruh Nusantara.
Menanggapi kondisi itu, mahasiswi norma Universitas Kristen Wira Wacana, Sumba Timur, Erna Linda Ndakulara, mengatakan keterlibatan dirinya dalam program itu didorong oleh kesadaran ihwal anak muda nan cuek dan tidak peduli terhadap kearifan dan pangan lokal.
Iklan
"Sebagai anak muda kita kudu peka dan terus bersuara tentang ini," ujarnya.
Dalam budaya Sumba Timur, Erna menjelaskan, dikenal konsep kearifan pangan, ialah Mandara alias berbagi pangan di antara masyarakat, Balang alias penyimpanan pangan, dan Uhu Tanga Watin alias ritual pangan. Dia menyebut kearifan lokal ini hidup dan berkembang berbareng dalam sistem pangan masyarakat Sumba. Suku-suku lain di Nusantara juga mempunyai kearifan pangan masing-masing.
Lebih lanjut, peserta dari Papua, Orva Novita Yosua, mengungkap bahwa program nan dijalankan sejak 2023 itu sangat krusial lantaran situasi pangan lokal makin terancam. Dia menilai anak muda semakin tidak tertarik pada isi pangan lokal lantaran dianggap sebagai makanan kampungan nan tertinggal oleh zaman.
"Kami makin percaya bahwa sistem pangan lokal kudu dipertahankan untuk menjamin tidak terjadi krisis pangan sehingga mencapai keberlanjutan hidup," tuturnya.