Fitra Sebut Dukungan Transformasi Ekonomi Hijau di Era Prabowo Masih Minim, Ini Penjelasannya

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) memperkirakan support transformasi ekonomi hijau tetap bakal minim di era presiden terpilih Prabowo Subianto.

Peneliti Seknas Fitra, Gulfino Guevarrato, mengatakan komitmen tersebut juga belum terlihat dalam pidato pembacaan nota finansial RAPBN 2025 oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus lalu. “Wacana transformasi hijau terkesan belum mendapat perhatian nan lebih serius, jika merujuk pada penerapan kebijakan selama ini terlihat tetap inkonsisten,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Selasa 20 Agustus 2024.

Ia juga memandang bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor nan erat kaitannya dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini membikin negara tetap rentan terpapar kerusakan alam. Pada 2023, total PDB Indonesia mencapai Rp 20.533,2 triliun. Sebanyak 32 persennya berjuntai pada SDA alias Rp 6.570 triliun, nan tersebar di beragam sektor. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tetap berjuntai pada keahlian ekspor nan didorong oleh nilai komoditas. Secara spasial, seluruh wilayah mencatatkan pertumbuhan ekonomi nan positif meskipun bervariasi.

Wilayah Maluku dan Papua mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada triwulan II 2024. Tingginya pertumbuhan ekonomi wilayah Maluku dan Papua disebabkan oleh kebijakan hilirisasi mineral nan diterapkan oleh Pemerintah. 

Artinya, dia melanjutkan, pengungkit pertumbuhan ekonomi baik nasional dan daerah, tetap berjuntai pada pemanfaatan SDA. Pertumbuhan ekonomi bisa berakibat negatif, andaikan pendekatan tersebut tetap ekspansif dan mengeruk potensi sumber daya alam secara serampangan.

Untuk itu, Fitra berbareng Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) merekomendasikan beberapa strategi nan bisa digunakan pemerintah untuk mendorong sumber pendapatan nan berkelanjutan. Pada era presiden Prabowo Subianto, Indonesia tetap dihadapkan pada keterbatasan fiskal nan konsentrasi pada PSN, Makan Bergizi Gratis dan Pembangunan IKN). Karena itu, pendaanaan non-APBN perlu dioptimalkan.

Iklan

Caranya bisa dengan memanfaatkan keterlibatan BUMN dan swasta (domestik dan internasional) lewat pendanaan imajinatif melalui skema blended financing. Pemerintah perlu juga untuk lebih inovatif dalam intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan dengan memperhatikan prinsip berkelanjutan.

“Sejauh ini, potensi pendapatan dari pajak karbon belum tergarap secara maksimal, juga menginternalisasi biaya lingkungan pada pajak nan bergerak di sektor SDA,” kata Gulfino. 

Perlu pula mendorong pajak lingkungan alias cukai untuk penggunaan barang-barang plastik. Selain untuk mengontrol meningkatnya sampah, juga dapat meningkatkan pendapatan negara.

Selain itu, perlu mendorong tata kelola dan efektivitas pembiayaan hijau, seperti green sukuk alias green bond. “Tujuannya agar skema pembiayaan nan dipilih pemerintah berakibat positif pada sektor ekonomi dan pencapaian sasaran penurunan emisi gas rumah kaca,” ujarnya.

Pilihan Editor: Sumber Utang Baru Rp 775,9 Triliun di Pemerintahan Prabowo

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis