Genjot Penerimaan Pajak Tahun Depan Rp 2.189,3 Triliun, Kemenkeu Beberkan 2 Strategi Besar

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyebut ada dua strategi menggenjot penerimaan pajak pada tahun 2025. “(Strateginya) ekstensifikasi dan intensifikasi nan jelas,” katanya di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024, seperti dikutip dari Antara.

Pemerintah sebelumnya lewat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias RAPBN 2025 mematok sasaran penerimaan pajak Rp 2.189,3 triliun. Angka ini naik 10,07 persen dari sasaran APBN 2024 nan sebesar Rp 1.988,8 triliun.

Dalam Buku II Nota Keuangan, disebutkan sasaran penerimaan pajak itu mempertimbangkan proyeksi keahlian ekonomi dan keberlanjutan reformasi pajak.

Adapun penerimaan pajak penghasilan (PPh) ditargetkan tumbuh sebesar 13,8 persen dari proyeksi 2024, ialah mencapai Rp 1.209,3 triliun. Penerimaan PPh terdiri dari PPh migas Rp 62,8 triliun dan PPh nonmigas Rp 1.146,4 triliun.

“PPh itu memandang dinamika ekonomi. Tahun ini nilai komoditas turun, harapannya tahun depan bakal meningkat,” ucap Suryo.

Berikutnya, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas peralatan mewah (PPnBM) diperkirakan mencapai Rp 945,1 triliun, pajak bumi dan gedung (PBB) ditargetkan Rp 27,1 triliun, dan pajak lainnya dipatok sebesar Rp 7,8 triliun.

Namun demikian, Suryo menyatakan sasaran penerimaan pajak tahun anggaran 2025 tetap bakal dibahas lebih lanjut dengan DPR. “Belum dibahas (lebih lanjut). Sekarang baru Sidang Paripurna untuk tahun anggaran 2023,” tuturnya.

Pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 2.996,9 triliun alias lebih tinggi dari proyeksi APBN 2024 nan sebesar Rp 2.802,5 triliun. Angka tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 505,4 triliun.

Selain itu, pemerintah menetapkan shopping negara sebesar Rp 3.613,1 triliun. Dengan begitu, sasaran defisit dalam RAPBN 2025 sebesar Rp 616,2 triliun alias 2,53 persen.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut rendahnya defisit APBN Tahun 2023 sebesar 1,61 persen menjadi bekal payung ekonomi untuk tahun 2024. “Istilah APBN 2023 telah menyediakan payung sebelum hujan itu tepat sekali,” katanya saat Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Selasa.

Sebab, menurut Sri Mulyani, ada banyak gejolak ekonomi nan terjadi di 2024, seperti kenaikan suku kembang The Fed di kisaran 5,25-5,5 persen. Di saat nan sama, beragam nilai komoditas menurun, termasuk batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).

Iklan

Untuk itu, defisit APBN sebesar Rp 337,3 triliun alias 1,61 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) memberikan ruang nan memadai untuk membikin APBN menjadi alas gejolak (shock absorber) pada tahun anggaran berikutnya. Realisasi defisit itu lebih rendah dari sasaran APBN 2023 nan sebesar 2,27 persen.

Sri Mulyani mencontohkan saat musim hujan, nilai komoditas jeblok dan ini bakal menimbulkan guncangan. "Namun, kita telah menyediakan payung di 2023."

Adapun realisasi pendapatan negara sebesar Rp 2.774,3 triliun, alias tumbuh 5,3 persen dari realisasi tahun anggaran 2022 nan sebesar Rp 2.635,8 triliun. Realisasi itu setara dengan 105,2 persen dari sasaran Perpres Nomor 75 Tahun 2023 nan sebesar Rp 2.637,2 triliun.

Sementara itu, realisasi shopping negara tercatat sebesar Rp 3.121,2 triliun alias 100,13 persen dari pagu 2023. Realisasi ini meningkat Rp 24,9 triliun alias 0,81 persen dari realisasi 2022.

“Ini menunjukkan pada saat kita menghadapi penerimaan nan tinggi, kita tetap menjaga momentum shopping tanpa menimbulkan kenaikan nan cukup besar,” ucap Sri Mulyani.

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2023 tercatat keseimbangan primer mencatat positif pertama kali sejak tahun 2012. Selanjutnya, adanya surplus laporan operasional nan baru pertama kali tercapai sejak penerapan pedoman accrual accounting pada 2015.

Selain itu, pemerintah sukses mencapai kenaikan ekuitas negara tanpa melalui revaluasi. Kinerja positif tersebut juga nan pertama kali terjadi sejak 2015. Defisit fiskal dan rasio utang pun tercatat turun masing-masing menjadi 1,61 persen dan 39,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tingkat pengangguran terbuka tercatat turun dari 5,86 persen pada 2022 menjadi 5,32 persen pada 2023. Sedangkan nomor kemiskinan menurun dari 9,54 persen menjadi 9,36 persen dan indeks pembangunan manusia naik dari 73,77 menjadi 74,39.

Pada tahun 2023, pengelolaan transaksi APBN juga membaik. "Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) mencapai nilai terendah ialah hanya Rp 19 triliun. Sejak tahun 2008 ini adalah SILPA terendah,” kata Sri Mulyani.

Pilihan Editor: Edisi Khusus 10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Warisan Utang Menggunung, Tak Sebanding dengan Pertumbuhan

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis