TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), salah satu putusannya adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak boleh lebih dari lima tahun.
Selain itu, MK juga menerima permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tidak boleh sepihak.
“Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Kamis, 31 Oktober 2024, nan dipantau dari YouTube MK RI.
PKWT Maksimal 5 Tahun
Sebelumnya, UU Ciptaker mengatur pemberi kerja dapat mempekerjakan seseorang dengan sistem PKWT tanpa kudu diangkat sebagai tenaga kerja tetap. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 Lampiran UU Cipta Kerja.
“Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 … bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai. Jangka waktu berakhirnya satu pekerjaan tertentu dibuat tidak melampaui paling lama lima tahun, termasuk jika ada perpanjangan,” ucap Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Adapun Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 sebelumnya berbunyi, “Jangka waktu alias berakhirnya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berasas perjanjian kerja.”
Dalam pertimbangan hukumnya, pengadil konstitusi menggarisbawahi bahwa perjanjian kerja nan disusun oleh pengusaha dan pekerja berada dalam kedudukan para pihak nan tidak seimbang. Pekerja dinilai sebagai pihak dengan posisi nan lemah.
Oleh lantaran itu, MK menyebut jangka waktu PKWT krusial untuk diatur lebih lanjut di dalam undang-undang, bukan dalam peraturan turunan alias perjanjian lainnya. Menurut MK, norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 menimbulkan ketidakadilan nan tidak dapat ditoleransi.
“Berkenaan dengan penentuan secara definitif lamanya jangka waktu PKWT, menurut MK, perihal tersebut merupakan wilayah kebijakan norma terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, sepanjang perihal tersebut tidak merugikan hak-hak pekerja alias pekerja,” ujar Arsul Sani.
Putusan PHK Tunggu Inkrah
Iklan
Kemudian, mengenai dalil PHK, MK menyatakan bahwa argumen PHK kudu diberitahukan dengan tujuan bipartit alias perundingan dua pihak, bukan satu arah oleh pemberi kerja.
Pemberitahuan tersebut dilakukan perusahaan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya PHK, nan merupakan langkah terakhir alias the last resort.
“Proses alias tahapan selanjutnya, tetap wajib dilakukan perundingan, andaikan pekerja/buruh tidak sepakat dengan maksud dan argumen PHK nan telah diberitahukan tersebut,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
MK juga menjelaskan, andaikan perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, maka kudu dilakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut perundingan sebagai corak pengejawantahan ideologi bangsa dan dasar negara Pancasila dalam aktivitas usaha. Hal tersebut didasarkan pada kedudukan pekerja nan tidak sederajat dengan pengusaha, sehingga perundingan dengan dilandasi musyawarah untuk mencapai mufakat agar dapat menjaga keberlangsungan hidup nan layak.
“Prinsip inilah nan kudu menjadi bagian dalam memaknai norma Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 40 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Sekalipun hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja merupakan hubungan berasas perjanjian kerja nan mengandung unsur pekerjaan, upah, dan perintah,” ucap Enny.
Pilihan Editor: Menko Airlangga Pastikan Pemerintah Patuhi Putusan MK tentang UU Cipta Kerja