TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Masduki mempertanyakan perihal perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mengaku kecewa lantaran perubahan kedua UU ITE ini bukan memperkuat perlindungan kewenangan asasi manusia (HAM) melainkan kontrol negara untuk mengatur kebebasan berekspresi di ranah digital.
“Kita mungkin kudu kecewa, lantaran UU ini sebetulnya tidak berangkat dari perlindungan terhadap human right. Tetapi gimana penguatan kontrol negara, untuk melindungi victim dari perilaku komunikasi di ranah digital ini,” ungkap Masduki, Jumat, 11 Oktober 2024.
Masduki menjelaskan, ada 3 perihal kontroversial nan tetap tercantum dalam perubahan kedua UU ITE. “Misalnya ada 3 diksi krusial nan tetap ada, soal hate speech, berita bohong alias hoaks, kemudian kita tahu juga soal pencemaran nama baik, ini tetap ada,” ujar Masduki
Menanggapi perihal tersebut, Ketua Tim Hukum dan Kerja Sama, Sekretaris Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Josua Sitompul, menyampaikan ketentuan soal penghinaan sudah diuji acapkali di Mahkamah Konstitusi dan ketentuan mengenai SARA sudah pernah satu kali diuji di Mahkamah Konstitusi.
Kalau permasalahannya adalah penafsiran terhadap ketentuan pidananya, menurut Josua, maka perihal itu nan diubah dalam dua kali perubahan. "Tahun 2016 kita kasih catatan itu mengikuti KUHP tapi dinilai masyarakat tetap kurang. Maka di 2024 ini kita pertegas dengan menyesuaikan normanya itu seperti KUHP baru. Sehingga masyarakat lebih memahami bahwa penghinaan itu menyerang kehormatan orang lain,” ungkap Josua.
Josua menambahkan, dalam perubahan UU ITE juga dipertegas bahwa ada pengecualian nan tidak dianggap sebagai penghinaan jika pernyataan itu disampaikan untuk memihak diri alias untuk kepentingan umum.
Di sisi lain, Masduki mengapresiasi Undang-undang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik nan dinilai lebih baik dibandingkan Undang-Undang ITE.
Iklan
“Sebetulnya kita punya Undang-undang nan ketiganya itu punya kompetensi. Pertama, Undang-Undang PDP baru saja disahkan.
Kedua, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Ini tampaknya keduanya lebih baik, lebih spesialis. Sementara UU ITE nan kita harapkan untuk memfasilitasi orang untuk bebas berekspresi, berbincang justru tetap problematik,” kata Masduki.
Ia berambisi ada perubahan ketiga pada UU ITE ini nan berdasar pada paradigma perlindungan kewenangan asasi manusia.
“Kalau kita bicara apakah UU ITE ini bisa support terhadap pendapat tentang kebebasan berekspresi human right, kita tidak hanya bisa mengharapkan di UU ini. Kita kudu bicara UU PDP, UU KIP, dan kita juga berambisi jika tetap ada revisi atas UU ini. Rasa-rasanya kita bisa berkiblat kepada Eropa nan secara diksi UU clear yang berangkat dari paradigma protection,” kata Masduki.
Pilihan Editor: Dosen PSDK Fisipol UGM: Implementasi Program Revolusi Mental Jokowi Jauh Panggang dari Api