TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta produk turunannya seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Menurut Indef, jika pemerintah tidak merevisi PP nomor 28/ 2024 dan membatalkan Peraturan Menkes tentang produk tembakau dan rokok elektrik, Indonesia bisa kehilangan Rp308 triliun.
“Kami merekomendasikan dengan dasar nan cukup kuantitatif, pertama adalah PP 28/2024 kudu direvisi, termasuk membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, khususnya pasal-pasal nan memberikan akibat terhadap penerimaan dan perekonomian negara," kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam “Diskusi Publik Indef: Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram” di Jakarta, Senin, 23 September 2024.
"Ini krusial lantaran jika ini tidak direvisi dan dibatalkan, apalagi ditunda, maka justru memperberat situasi nan terjadi lantaran situasi ekonomi kita kuartal ketiga diproyeksikan tetap di bawah lima persen,” katanya.
Di antara nan dikritisi Indef adalah usulan bungkusan rokok polos tanpa merek dalam RPMK, nan mereka nilai bakal memberikan akibat ekonomi nan lenyap senilai Rp182,2 triliun.
Kemasan rokok polos bakal mendorong downtrading (fenomena ketika konsumen beranjak ke produk rokok nan lebih murah) hingga switching ke rokok terlarangan lebih sigap 2-3 kali lipat dari nan sebelumnya, dan berpotensi menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09 persen.
Implikasi dari kebijakan bungkusan polos ini diprediksi mengurangi penerimaan negara sekitar Rp95,6 triliun, akibat ekonomi nan lenyap Rp182,2 triliun, dan memberikan akibat terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait.
Skenario kedua, andaikan pasal dalam PP 28/2024 mengenai larangan berdagang rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan (PAUD sampai SMA) dan tempat bermain diberlakukan, bakal memberikan akibat terhadap 33,08 persen dari total rokok retail (dari total perkiraan lebih dari 500 ribu satuan pendidikan terkait). Konsekuensi dari larangan ini menurunkan penerimaan negara sekitar Rp43,5 triliun, akibat ekonomi nan lenyap Rp84 triliun, dan 734 ribu orang/pekerja terdampak.
Untuk skenario ketiga mengenai pembatasan iklan rokok dalam PP 28/2024, diperkirakan menurunkan permintaan jasa periklanan hingga 15 persen, mengurangi penerimaan negara Rp21,5 triliun, akibat ekonomi nan lenyap Rp41,8 triliun, dan berakibat terhadap 337,73 ribu orang/pekerja.
Jika tiga skenario tersebut dijalankan, akibat ekonomi nan bakal lenyap setara Rp308 triliun alias 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menurunkan penerimaan perpajakan Rp160,6 triliun alias 7 persen dari total penerimaan perpajakan.
Hal ini disebabkan seluruh akibat nan ada merambat ke industri hasil tembakau, industri tekstil, industri periklanan, industri pertanian, industri retail, industri kertas, dan sektor lainnya.
Adapun sisi potensi tenaga kerja nan terdampak seandainya tiga skenario itu dijalankan ialah sebanyak 2,29 juta orang alias 1,6 persen dari total masyarakat bekerja.
“Kalau kita lihat total nomor 2,29 itu lebih tinggi dibandingkan nomor penyerapan tenaga kerja dan investasi nan kita tanam dalam satu tahun terakhir, satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap kurang lebih 300 ribu lapangan pekerjaan baru (atau) tenaga kerja baru," katanya.
Jadi, jika pertumbuhan ekonomi lima persen itu bisa menyerap kurang lebih 1,5 juta orang, bayangkan 2,29 (juta orang) itu bakal langsung terdampak, bukan hanya PHK, tapi bisa jadi penurunan pendapatan.
Karena itu, selain merevisi PP 28/2024 dan pembatalan RPMK, Indef mendorong perbincangan antar kementerian/lembaga nan berkepentingan dengan industri terkait.
Iklan
Mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian.
Upaya perbincangan dilakukan agar terjadi keseimbangan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan empat pilar, ialah penerimaan negara, industri, tenaga kerja, dan kesehatan. Jika hanya mempertimbangkan pilar kesehatan saja, maka bakal sangat susah lahir sebuah keputusan nan betul-betul berkeadilan bagi beragam pihak.
“Jadi, jika ada satu pilar saja nan muncul tanpa mempertimbangkan tiga pilar lainnya, maka saya kira ini nan perlu kita kritisi dan perlu kita berikan catatan,” kata Direktur Eksekutif Indef itu.
Rekomendasi terakhir nan diberikan adalah pemerintah perlu mencari sumber pengganti penerimaan negara nan hilang, serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja nan terdampak andaikan kebijakan PP 28/2024 dan RPMK tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik tetap diberlakukan.
“Saya kira nan berat memang dari penerimaan, sehingga perlu ada pengganti jikalau peraturan ini dilakukan, namun nan paling berat adalah masa depan masyarakat, terutama nan terdampak lantaran lebih dari dua juta orang nan bakal terdampak,” ucapnya.
Tanggapan Menteri Kesehatan Soal Keberatan Kemasan Rokok Polos
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menanggapi polemik rencana penerapan patokan kemasan rokok polos. Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) mengenai bungkusan rokok polos itu mendapatkan banyak penolakan dari pengusaha, sehingga tetap tahap kajian.
“Ya itu sedang dikaji dengan mitra kami. (Perkembangannya) bagus,” kata dia usai aktivitas Peluncuran kitab Authorized Biography Sri Mulyani Indrawati berjudul NO LIMITS: Reformasi dengan Hati di di Aula Dhanapala Kemenkeu pada Jumat, 20 September 2024.
Budi Gunadi menuturkan sejauh ini tetap tahap kajian dan perkembangannya baik-baik saja. Ia juga bakal berbincang dengan pelbagai stakeholder termasuk pengusaha. “Saya tetap panggil pengusaha-pengusaha untuk berbincang mengenai pemberlakuan patokan itu,” ujar Budi.
Sebelumnya, Antara melaporkan, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Merrijantij Punguan Pintaria mengatakan kebijakan bungkusan rokok polos tanpa merek nan sedang dirumuskan dalam RPMK perlu diperhatikan dengan seksama.
Hal tersebut mengingat dampaknya terhadap perekonomian nasional dan masyarakat luas, khususnya bagi industri hasil tembakau. Merrijantij melalui keterangan nan diterima di Jakarta, Jumat lampau menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri.
"Kami semua sepakat untuk menciptakan masyarakat nan sehat, tetapi kita juga kudu mempertimbangkan keberadaan lebih dari 1.300 industri nan mempekerjakan sekitar 537 ribu orang," ujarnya.
Bagus Pribadi berkontribusi dalam penulisan tulisan ini
Pilihan Editor Mengenal Armada Baru TNI AU Airbus A400M: Bisa Angkut 30 Ribu Ton dan Isi BBM Pesawat Lain di Udara