TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga riset Bright Institute merilis hasil studi nan mengungkap Indonesia mempunyai potensi mengalami krisis pangan. Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, menyatakan permintaan beras nan tinggi tak dibarengi dengan suplai nan memadai membikin nilai beras melambung.
“Saat ini, banyak negara nan mengamankan persediaan bahan pangan sebagai langkah preventif menghindari krisis pangan. Mereka juga membatasi ekspor,” ujarnya dalam webinar berjudul “Rawan Pangan Mengancam” pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Awalil menjelaskan, tren protektionisme ini telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Ia menyebut, negara nan menyadari ketidakpastian kondisi pangan condong mengubah orientasinya ke ketahanan dalam negeri.
Adapun kondisi ini bakal berakibat pada Indonesia nan jumlah penduduknya mencapai 285 juta jiwa dan berpotensi makin bertambah. “Maka kerawanan pangan bakal menjadi persoalan nan jauh lebih serius,” kata Awalil.
Awalil juga menyorot tidak maksimalnya realisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan 2020-2024 nan telah dibuat oleh pemerintah. Ia menilai, RPJMN ini sebenarnya telah meletakkan perhatian pada persoalan krisis pangan ini. “Namun, realisasinya sangat jauh dari nan diharapkan,” ungkap Awalil.
Ia mencontohkan anjloknya skor Global Food Security Index (GFSI) alias Indeks Ketahanan Pangan Global nan menjadi parameter keberhasilan RPJMN. Pada era Presiden Jokowi periode pertama, nilainya sempat meningkat menyentuh nomor 63,60 di tahun 2018. Sehingga, RPJMN 2020-2024 menargetkan skor 95,20 pada tahun 2024.
Iklan
Namun, skor GFSI condong berbalik arah sejak tahun 2019. Alih-alih mendekati 95,20, nilainya terakhir di 2022 lebih rendah dengan skor 60,2. “Target RPJMN 2024 sudah tak mungkin bisa tercapai,” ujarnya.
Keadaan ini diperparah dengan porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian condong semakin menurun selama era Presiden Jokowi. Di tahun 2014, porsi tanaman pangan nan terdiri dari antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau mencapai 24,35 persen dari seluruh sektor pertanian. Namun, di 2023 porsinya jatuh ke 18,02 persen.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Pradana mengatakan, turunnya porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian ini disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah. Di era Jokowi, pemerintah meletakkan banyak perhatian pada perkebunan nan orientasinya ekspor. "Terutama kelapa sawit," ujar Awalil.
Pilihan Editor: Daftar Lowongan Kerja BUMN dengan Tenggat Pendaftara 15 Oktober 2024