TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Edy Wuryanto, mempertanyakan kesungguhan pemerintah menanggapi dorongan masyarakat mengenai program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebelumnya, Pemerintah melalui Ketua Komite Badan Pengelola (BP) Tapera Basuki Hadimuljono mengungkapkan penerapan program Tapera baru bakal dimulai pada 2027, bukan diundur. Menurut Edy, ini hanya jurus pemerintah meninabobokan masyarakat.
“Kenapa saya bilang meninabobokan? Sebab dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 tidak ada perubahan di Pasal 68 dari PP Nomor 25 Tahun 2020,” kata Edy dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 8 Juni 2024.
PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat ini merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Dalam Pasal 68 PP Nomor 25 Tahun 2020 memang sudah dinyatakan bahwa pemungutan iuran untuk pekerja swasta dilaksanakan tujuh tahun setelah PP tersebut diundangkan. "Artinya, pada 2027 nanti. Lalu pada PP Nomor 21 Tahun 2024 tidak ada perubahan pada Pasal 68. Jika pemerintah menyatakan bakal menunda, ya kudu jelas ditunda sampai kapan,” tutur Edy.
Menurut Edy, pemerintah kudu berupaya menemukan formulasi nan tepat untuk meyakinkan masyarakat. Hal ini mengingat skema Tapera mendapatkan banyak perlawanan dari beragam kalangan. "Respons negatif baik dari pekerja maupun pengusaha menjadi sinyal bahwa program Tapera belum pas menurut masyarakat. Pemerintah perlu memperbaiki program nan selama ini sudah berjalan. Setiap program nan bakal dijalankan kudu sesuai dengan kondisi masyarakat."
Sebelumnya, program Tapera dijalani pegawai negeri sipil (PNS). Besaran iuran nan dibayar PNS sesuai dengan golongannya. Untuk golongan I Rp 3 ribu golongan II Rp 5 ribu, golongan III Rp 7 ribu dan golongan IV Rp 10 ribu. "Setelah menabung puluhan tahun, biaya nan bisa diambil tidak lebih dari Rp 10 juta," tutur Edy.
Menurut dia, dengan gambaran ini, masyarakat merasa percuma menabung di Tapera. Merujuk situs BP Tapera, tujuan program ini adalah menghimpun dan menyediakan biaya murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan nan layak dan terjangkau.
Maka dari itu, Edy menilai bahwa pesimistis dari masyarakat itu wajar saja. "Wajar jika masyarakat merasa pesimis dengan menabung di Tapera ini dapat mendapatkan pembiayaan perumahan nan terjangkau. Kita lihat saja nilai rumah sekarang dan berapa nan didapat peserta Tapera."
Iklan
Edy juga menyoroti faedah Tapera nan konon hanya bisa dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) alias dengan penghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan. MBR dapat mengambil angsuran pembaharuan rumah, Kredit Bangun Rumah dan dapat akses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan tenor panjang serta kembang di bawah suku kembang pasar.
Namun, kata dia tidak ada kejelasan benefit bagi peserta non-MBR. “Dengan kondisi ini, wajar jika masyarakat teriak. Untuk apa mereka iuran, jika tidak bisa merasakan manfaatnya. Sementara mereka nan non-MBR kudu bayar KPR sendiri."
Saat ini, lanjut Edy, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memberikan faedah nan sama dengan UU Tapera. Ada program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program Jaminan Hari Tua (JHT) nan dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Edy memandang bakal ada overlapping antara MLT Perumahan dan UU Tapera, sehingga dia meminta agar memaksimalkan MLT perumahan untuk pekerja. Artinya, pekerja dan pengusaha swasta tidak perlu diwajibkan ikut Tapera. Dengan diwajibkan bayar iuran Tapera 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha, menurut dia bakal menggangu bayaran pekerja dan cash flow perusahaan. “Alangkah baiknya jika tanggungjawab untuk iuran ini diganti dengan sukarela,” kata Edy.
Ditambah lagi dengan temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2021 lampau soal pengembalian biaya Tapera. BPK menemukan 124.960 orang pensiunan peserta Tapera belum menerima pengembalian biaya dengan nilai mencapai Rp 567,5 miliar.
Meski belakangan BP Tapera mengungkapkan bahwa semua kewenangan peserta sudah dikembalikan, namun temuan tersebut bisa menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap BP Tapera. "Sehingga betul penyelenggaraan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat ini ditunda hingga 2027, kudu ada perbaikan nan nyata dan membikin masyarakat percaya,” tutur Edy.