Kapal Ikan Vietnam, China, dan Ancaman Kedaulatan di Laut Natuna Utara

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Dua kapal ikan asing berbendera Vietnam berlayar beriringan di perairan Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, pada 30 Maret lalu. Kapal tersebut diduga kuat sedang menarik trawl untuk menangkap ikan.

Trawl adalah jaring raksasa nan digerakkan dengan mesin. Jala ini bisa meluncur di dasar laut untuk menjaring ikan dalam jumlah besar.

Tak hanya ikan, terumbu karang juga dipastikan bakal hancur terjaring perangkat tangkap nan kerap disebut pukat harimau. Ikan nan tetap kecil-kecil juga bakal tertangkap jaring tersebut. Penggunaan perangkat tangkap trawl ini dianggap bisa merusak ekosistem laut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberadaan dua kapal ikan Vietnam ini dilihat langsung oleh nelayan Natuna nan juga sedang mencari ikan di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

"Di mana-mana ada Vietnam. Mana kapal-kapal nan katanya menjaga perbatasan? Kalau macam ini apa tidak menangis nelayan Natuna," kata seorang nelayan dalam video saat merekam aktivitas kapal Vietnam tersebut, dikutip Kamis (30/5).

Rekaman video keberadaan kapal ikan Vietnam di perairan Laut Natuna Utara tersebut mengonfirmasi laporan terbaru dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)terkait intrusi kapal-kapal ikan asing Vietnam.

Analis Senior IOJI Imam Prakoso mengatakan keberadaan kapal ikan Vietnam kembali marak sepanjang Maret dan April 2024. Padahal pada awal tahun ini tak terdeteksi aktivitas kapal ikan itu di ZEE Indonesia.

Berdasarkan gambaran satelit, IOJI mendeteksi setidaknya ada 32 kapal ikan Vietnam di Laut Natuna Utara pada Maret. Kemudian meningkat mencapai 61 kapal ikan Vietnam pada April.

"Jarak terdekat kapal-kapal tersebut dari Pulau Laut (Kabupaten Natuna) nan merupakan pulau terluar adalah kurang lebih hanya 50 mil," kata Imam kepada CNNIndonesia.com.

Imam mengawasi kapal-kapal ikan Vietnam nan masuk perairan Indonesia meningkat pada kurun waktu Maret-April setiap tahunnya.

Dari pengamatan IOJI selama 3 tahun terakhir, terpantau 51 kapal ikan Vietnam masuk wilayah RI pada Maret 2021. Kemudian naik menjadi 100 kapal pada April 2021.

Selanjutnya pada Meret 2022, tercatat ada 52 kapal ikan masuk Laut Natuna Utara. Lalu 49 kapal pada April 2022. Sementara pada Maret-April 2023, intrusi kapal ikan Vietnam turun drastis.

"2023 agak anomali memang, mungkin lantaran pada Desember 2022, Indonesia dan Vietnam dikabarkan setuju tentang garis pemisah ZEE, jadi trennya berbeda," ujarnya.

Presiden Joko Widodo sebelumnya mengungkapkan setelah melakukan perundingan intensif selama 12 tahun, Indonesia dan Vietnam akhirnya dapat menyelesaikan perundingan mengenai garis pemisah ZEE kedua negara berasas UNCLOS 1982.

Hal tersebut disampaikan Jokowi usai menerima kunjungan Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc di Istana Kepresidenan Bogor, pada 22 Desember 2022.

Imam menduga minim patroli sejak awal tahun sampai April lampau membikin kapal-kapal asing itu bergerak bebas mengambil ikan di wilayah Indonesia. Ia mendorong TNI, Bakamla, dan KKP konsisten menggelar patroli di perairan Laut Natuna Utara.

Menurut Imam, lemahnya pengamanan di Laut Natuna Utara tentu bakal berakibat pada keberlanjutan rencana hidup masyarakat pesisir nan menggantungkan hidupnya secara langsung pada sumber daya laut.

"IOJI sudah sering memberikan rekomendasi perkuat pengawasan dan koordinasi patroli nan efektif," katanya.

Pada awal bulan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap tiga unit kapal nan melakukan penangkapan ikan terlarangan (illegal fishing) di wilayah perairan Indonesia ialah dua kapal di Laut Natuna Utara dan satu kapal di Selat Malaka.

Dalam keterangan resminya, dua kapal asing Vietnam tersebut mempunyai nomor lambung BV 4417 TS (100 GT) dengan 15 ABK dan kapal BV 1182 TS (66 GT) dengan 5 ABK. Dua kapal ini membawa muatan ikan kombinasi sebanyak 10 ton.

Sedangkan satu unit kapal berbendera Malaysia KM. SLFA 5178 (64.77 GT) dengan 3 ton muatan ikan campur.

Laut Natuna Utara masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia: WPP-RI 711, berbareng dengan perairan Selat Karimata dan Laut Natuna.

Merujuk Kepmen KKP Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan nan Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, total perkiraan potensi sumber daya ikan di WPP 711 mencapai 1,3 juta ton.

Sedangkan jumlah tangkapan ikan nan diperbolehkan (JTB) sekitar 911,5 ribu ton.

Pelayaran kapal riset China

Tak hanya kapal ikan asing, kapal milik China nan diyakini melakukan riset juga kerap mondar-mandir di Laut Natuna Utara. Aktivitas kapal riset ini mulai terpantau oleh IOJI pada 2021 lalu.

Saat itu ada dua kapal riset China nan masuk perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara sepanjang September hingga November, ialah Hai nan Dizhi 10 dan Yuang Wang 6.

China merasa kapal-kapal tersebut tak melanggar apapun lantaran berlayar di perairan nan masuk dalam wilayah sembilan garis putus-putus (nine dash line).

Nine dash line adalah garis imajiner nan digunakan China untuk menyatakan sebagian besar wilayah Laut China Selatan nan disebut sebagai area tangkap tradisional mereka.

IOJI kembali mendeteksi dua kapal riset China, Nan Feng dan Jia Geng berada di Laut Natuna Utara pada Mei 2023.

Berdasarkan Data Automatic Identification System (AIS) pada bulan April hingga Mei 2023, IOJI memantau kapal Nan Feng diduga melakukan survei hidroakustik sepanjang perlintasannya di Laut Cina Selatan hingga mencapai Laut Natuna Utara.

Kemudian kapal Jia Geng melakukan misi survei di seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Laut Natuna Utara pada periode April hingga Mei 2023.

Imam mengatakan kapal riset China tak terpantau lagi masuk ke perairan Natuna. Menurutnya, pemerintah negeri Tirai Bambu itu sudah selesai melakukan penelitian di Laut China Selatan.

"China pada Januari 2024 menyatakan sudah sukses besar meneliti seluruh Laut Cina Selatan (LCS) selama 25 tahun terakhir," ujarnya.

Sementara Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan pemerintah kudu meningkatkan kehadiran dan sinergitas unsur-unsur patroli pengawasan laut.

Namun, kata Khairul, tetap ada banyak hambatan nan dihadapi seperti problem izin nan mengakibatkan tumpang tindih kewenangan hingga egosektoral di antara lembaga-lembaga terkait.

"Kondisi cuaca dan perairan LNU nan relatif terbuka memerlukan kehadiran kapal-kapal patroli pengawasan nan lebih mumpuni. Sayangnya anggaran kita terbatas," kata Khairul kepada CNNIndonesia.com.

Khairul menyoroti keterbatasan anggaran dalam meningkatkan patroli untuk menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara nan berbatasan langsung dengan wilayah perairan negara lain di Laut China Selatan.

Menurutnya, keterbatasan anggaran menghadirkan akibat turunan seperti kesiapan BBM, keterbatasan jumlah kekuatan nan digelar untuk patroli, hingga keterbatasan keahlian pengawasan dan penegakan hukum.

"Akibatnya, patroli pengawasan nan intensif dengan ronda laut susah digelar secara optimal dan terus-menerus," ujarnya.

Oleh lantaran itu, kata Khairul, lembaga mengenai seperti TNI AL, Bakamla, KKP, hingga Polri kudu bisa merespons sigap setiap info nan berasal dari kapal patroli, perangkat pemantauan, patroli udara, maupun dari nelayan lokal untuk kemudian dilakukan pengejaran, penghentian dan pemeriksaan.

Khairul menyebut kapal-kapal patroli dari sejumlah lembaga mengenai tetap sangat terbatas. Menurutnya, dibandingkan luas perairan dan aktivitas nan kudu diawasi, jumlah kapal kita tetap terbatas untuk bisa sepenuhnya menangkal dan menghentikan aktivitas ilegal.

"Kemudian berapapun jumlahnya, itu juga bukan berfaedah semuanya digelar bersamaan. Kapal-kapal itu melakukan aktivitas patroli dan siaga secara bergantian dalam waktu tertentu," katanya.


Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional