TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemotongan penghasilan pekerja swasta untuk Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera nan diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada Senin, 20 Mei 2024. Aturannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 sebagai perubahan dari PP Nomor 25 Tahun 2020.
Kebijakan Tapera mewajibkan pekerja bayar iuran sebanyak 3 persen dari total penghasilan per bulannya. Kebijakan tersebut menuai penolakan dari kalangan buruh. Selain lantaran menilai iuran Tapera bakal menjadi beban, pekerja meragukan faedah nan bisa diklaim dari tabungan ini.
Kata Pengamat Soal Kebijakan Tapera
1. Anton Sitorus
Pengamat properti AS Property Advisory, Anton Sitorus, mengatakan pemerintah perlu mengkaji lebih dalam wacana pangkas bayaran pekerja swasta untuk Tapera. Ia menyebut, urusan perumahan bukan perkara sederhana sehingga butuh kalkulasi matang.
Menurut Anton, untuk mendukung pembiayaan pengadaan rumah bagi masyarakat, pemerintah tak cukup hanya memberlakukan kebijakan pangkas bayaran pekerja lewat regulasi. Pemerintah kudu bisa memastikan iuran nan dikumpulkan pekerja melalui Tapera betul-betul bisa dimanfaatkan untuk membeli hunian.
"Ini tabungan nan 'dipaksakan' untuk rumah. Dengan duit segitu, apa kelak dapat rumah?" kata Anton kepada Tempo, Selasa, 28 Mei 2024.
"Masyarakat butuh kepastian. Jangan sampai hal-hal seperti ini tujuannya hanya buat pengumpulan biaya masyarakat," tambah Anton.
2. Yusuf Wibisono
Direktur Instutute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan pemerintah perlu terobosan baru untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat. Namun, terobosan ini bukan melalui kebijakan memotong penghasilan pekerja swasta untuk Tapera.
Yusuf menerangkan, backlog alias kesenjangan antara kebutuhan dan pasokann rumah di Indonesia saat ini mencapai 18 persen. Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, backlog itu setara kurang lebih 12,7 juta keluarga.
Iklan
“Pemerintah sebaiknya membatalkan kebijakan potongan penghasilan pekerja untuk Tapera dan konsentrasi pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen family Indonesia menuju zero backlog,” ujar Yusuf kepada Tempo, Rabu, 29 Mei 2024.
Untuk menghapus backlog 12,7 juta pada 2045 dengan tambahan permintaan rumah sekitar 750 ribu unit per tahun, Yusuf mengatakan, perlu pasokan rumah rakyat sekitar 1,3 juta unit per tahun. Sementara, pasokan rumah rakyat saat ini hanya sekitar 250 ribu unit per tahun. “Makanya, kita butuh perubahan esensial untuk pembangunan perumahan rakyat,” kata dia.
Yusuf lantas mengusulkan sejumlah kebijakan. Pertama, mengembalikan Kementerian Perumahan Rakyat. Pasalnya, menurut dia, pembangunan perumahan rakyat condong terabaikan sejak penggabungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Kalah dengan gemuruh pembangunan prasarana di era Presiden Jokowi,” ucapnya. Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat juga selalu minimalis.
3. Shinta Kamdani
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengatakan Program Tapera terbaru semakin menambah beban – baik dari sisi pemberi kerja maupun pekerja, di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Menurut Shinta, saat ini beban nan ditanggung pemberi kerja untuk iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan besarnya mencapai 18,24 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan pekerja.
Alih-alih mewajibkan kepesertaan Tapera, menurut Shinta, pemerintah bisa mengoptimalkan biaya BPJS Ketenagakerjaan. Ia berujar, akomodasi perumahan bisa didapatkan dengan memanfaatkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari sumber biaya program Jaminan Hari Tua (JHT).
Program Tapera terbaru dianggap semakin menambah beban baru di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar. “Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI/Polri," kata Shinta Kamdani melalui keterangan resmi, Selasa, 28 Mei 2024.
KAKAK INDRA PURNAMA | RIRI RAHAYU | DANIEL A. FAJRI
Pilihan editor: Hasil Simulasi Ekonomi Celios pada Kebijakan Tapera: PDB Menurun, Pendapatan Pekerja Terdampak