TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan bakal mengkaji status kemitraan antara penyedia platform dengan para pengemudi pikulan daring seperti ojek online (ojol), taksi online (taksol), dan kurir. Para pengemudi pikulan daring meminta pemerintah menyetip status kemitraan antara pekerja dengan platform lantaran merugikan.
“Pandangan saya, itu sangat merugikan posisi ojek online,” kata Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer namalain Noel saat dihubungi pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Noel menyebut rumor status kemitraan antara pekerja pikulan online dengan platform ini menjadi perhatian unik kementeriannya. Dia menyebut Kementerian Ketenagakerjaan bakal mengkaji arti kemitraan nan dinilai sesat. “Kata ‘kemitraan’ ini adalah sebuah kesesatan nan merugikan ojek online. Kami bakal jawab tidak lama lagi dan nan pasti sebelum 100 hari,” kata Noel.
Presiden Prabowo Subianto telah melantik Guru Besar Institute Teknologi Bandung (ITB) Yassierli sebagai Menteri Ketenagakerjaan dan Noel sebagai Wakil Menteri dalam Kabinet Merah Putih. Yassierli saat ini sedang merancang rencana kerja 100 hari pertama. Menurut dia, kementeriannya bakal membahas bayaran minimum provinsi hingga upskilling maupun reskilling pekerja. Namun, Yassierli tidak ada membahas soal status ojek daring dalam program 100 hari kerjanya.
SPAI Minta Hapus Kemitraan: Singgung Risiko Kerja hingga Upah Rendah
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) meminta Yassierli menetapkan pengemudi pikulan daring, seperti ojek online (ojol), taksi online (taksol), dan kurir sebagai pekerja tetap. SPAI menilai langkah ini agar para pengemudi pikulan daring memperoleh hak-hak pekerja termasuk bayaran minimum sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Untuk itu kami menghimbau Menteri nan baru untuk segera merealisasikan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nan melindungi pekerja platform,” kata Ketua SPAI Lily Pujiati dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Iklan
Dalam menetapkan bayaran minimum, Lily mengatakan Yassierli sepatutnya memandang kondisi pendapatan nan memprihatinkan bagi pengemudi ojol, taksol, dan kurir. Dia mengatakan status mitra pengemudi dengan platform menyebabkan pendapatan para pekerja ini tak menentu. “Setiap bulannya pendapatan pengemudi ojol berada di bawah standar bayaran minimum,” kata dia.
Lily mengatakan hubungan kemitraan ini menjadikan platform menetapkan tarif nan murah secara sepihak. Dia menyebut platform juga memotong penghasilan pekerja nan melampaui ketentuan 20 persen. Platform, kata Lily, memotong penghasilan di kisaran 30-70 persen melalui tambahan biaya jasa dan biaya lain nan dibebankan ke konsumen.
Karena itu, rata-rata penghasilan per bulan pekerja pikulan daring ini hanya Rp 3 juta. “Itu pun kami kudu bekerja dari pagi hingga malam, berkisar 15-17 jam setiap harinya. Dan itu kami kerjakan tanpa libur dalam sebulan,” kata Lily.
Meski demikian, Lily mengatakan pendapatan Rp 3 juta itu tak bertindak bagi pengemudi perempuan. Tak mendapat libur berbayar untuk haid, melahirkan, dan potensi keguguran, Lily mengatakan pendapatan pekerja wanita bisa lebih rendah. “Belum lagi akibat di jalan raya nan rawan kecelakaan bagi kami lantaran aspek kelelahan dan kurang istirahat. Bila terjadi kecelakaan, kami hanya dianggap sebagai kecelakaan lalu-lintas, bukan sebagai kecelakaan kerja,” kata dia.
Padahal, kata Lily, jika pekerja pikulan daring ini diakui UU, mereka bakal mendapatkan santunan BPJS Ketenagakerjaan, agunan sosial, dan tanggung jawab dari platfrom. “Dengan status mitra, kami otomatis tidak mendapatkan agunan sosial nan semestinya ada tanggung jawab platform di situ,” kata Lily.
Pilihan editor: ATR/BPN Klaim Telah Melaksanakan Reforma Agraria 14,5 Juta Hektare dalam Satu Dekade Terakhir