TEMPO.CO, Jakarta -Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan produksi crude palm oil (CPO) kudu terus ditingkatkan untuk mendukung program pengembangan biodiesel 40 dan 50 nan bakal diluncurkan tahun depan.
"Persiapan B50, kajiannya sudah dimulai. Kalau B40 ini sedang menunggu hasil uji total seluruhnya untuk alat-alat transportasi," katanya dalam aktivitas Penyerahan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik kepada 12 Instansi Terkait Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, di Kantor Ombudsman RI, Senin, 18 November 2024.
Eniya menyatakan saat ini telah melakukan pengetesan B40 ke beragam perangkat transportasi, sehingga dia optimis B40 dapat diwajibkan pada Januari 2025. Sementara untuk B50, Eniya mengatakan selain memastikan stok CPO nan cukup, juga kudu membuktikan peremajaan kebun sawit melangkah dengan baik. "Kalau kita mau memandatory-kan B50 ke depannya, misalnya kepastian kebutuhan CPO-nya," kata Eniya.
Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, memaparkan, program biodiesel memang berjuntai pada produksi CPO sebagai bahan baku dan pungutan ekspor untuk membiayai insentif biodiesel. Namun akibat kebijakan tarif ekspor nan tidak seragam dari pemerintah, program biodiesel ini dapat terhambat.
Ia menyebut, potongan ekspor untuk CPO lebih tinggi dibandingkan dengan palm oil mill effluent (POME) alias limbah cair kelapa sawit. Hal ini mendorong terjadinya ekspor berlebihan untuk produk POME, nan pada gilirannya berpotensi mengurangi biaya sawit dari pungutan ekspor produk kelapa sawit."Tidak optimalnya perolehan biaya sawit ini berpengaruh dalam pengelolaan biaya sawit pada konteks program biodiesel," katanya dalam aktivitas nan sama.
Selanjutnya, kondisi ini diperparah oleh pemerintah nan belum bisa berkedudukan sebagai penentu nilai CPO di pasar global. Menurut Yeka, kebijakan ini sangat berjuntai pada keahlian pemerintah untuk menciptakan stabilitas nilai tandan buah segar alias TBS di pasar domestik, nan sangat krusial bagi petani sawit dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit nan berkelanjutan. "Pengembangan industri biodiesel sangat tergantung pada keberhasilan membangun perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan," tuturnya.
Yeka menambahkan, dalam perdagangan internasional, kebijakan tarif ekspor nan tidak seragam antara CPO dan POME, ditambah pengawasan nan minim, membuka kesempatan manipulasi penggolongan komoditas ekspor untuk menghindari tarif tinggi. Hal ini menyebabkan praktik terlarangan nan mengurangi transparansi, merugikan negara, dan mengurangi penerimaan biaya sawit.