TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti mengatakan air minum nan layak di Indonesia tetap belum mencapai 100 persen. Karena itu, dia menekankan kepada pemerintah pusat maupun wilayah untuk meningkatkan keahlian agar air minum nan kondusif dan berkepanjangan dapat diakses oleh masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Diana berujar dalam catatannya bahwa saat ini capaian akses air minum layak baru sebesar 91,72 persen. “Saya sih berambisi 2030 bisa 100 persen, tapi 2045 sasaran kita ya, tetap lama,” katanya di aktivitas Closing Ceremony National Urban Water Supply Project (NUWSP) nan berjalan di Auditorium Kementerian PU, Selasa, 19 November 2024.
Selain itu, Diana juga membeberkan capaian akses air minum perpipaan saat ini baru mencapai 19,79 persen, sementara sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional alias RPJMN periode 2020 hingga 2024 sebesar 30,45 persen.
"Perpipaan itu kan tetap di bawah 20 persen. Nah, ini nan kudu kita perbaiki tata kelolanya," ujar Diana. "Berarti tetap jauh dari 100 persen untuk perpipaan."
Sebagai informasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menjalin kerja sama berbentuk utang dengan World Bank melalui NUWSP. NUWSP adalah program nasional untuk mendukung pembangunan penyediaan air minum perkotaan dengan pembiayaan investasi nan inovatif dan kreatif. Kerja sama tersebut berhujung pada hari ini, 19 November 2024.
"Saat ini sudah closing ya. Ketika closing harusnya kita sudah ada kenaikan keahlian kita, faedah nan ada di kita," imbuhnya.
Selanjutnya, Diana menyampaikan bahwa dalam RPJMN 2020-2024, ditargetkan adanya tambahan 10 juta sambungan perpipaan untuk rumah tangga. Salah satu pencapaian dari program kerja sama dengan NUWSP adalah penyediaan 1,6 juta sambungan rumah. "Ini sudah terlaksana, tapi jika dihitung-hitung hanya 16 persen dari sasaran tersebut," imbuhnya.
Diana menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan akses air minum bagi masyarakat di seluruh Indonesia. Program NUWSP, kata Diana, telah mendorong 59 pemerintah wilayah dengan memberikan support finansial kepada BUMD air minum. Ini, menurutnya, mencerminkan komitmen berbareng untuk memastikan bahwa pembangunan prasarana air minum tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga melibatkan pemerintah daerah.
"Semua tugas itu jika dilakukan sendiri-sendiri, kita tidak bakal tercapai-capai. Ini kudu masif, kudu bersama-sama, kita kudu saling terintegrasi. Ini tugas kita," imbuhnya.
Selain itu, Program Leader Sustainable Development World Bank, Vikas Choudhary, biaya non-publik nan telah dimanfaatkan sebesar US$160 juta, digunakan oleh 21 perusahaan air minum untuk mengembangkan prasarana penyediaan air. Ketika proyek ini selesai, 1,6 juta rumah tangga telah mendapatkan akses nan lebih baik ke jasa air bersih, melampaui sasaran awal nan ditetapkan sebesar 1,2 juta rumah tangga, meski tetap jauh dari sasaran RPJMN.
"Sejak dimulai pada tahun 2018, proyek ini telah mendukung perusahaan air minum dalam membangun kemitraan swasta, pengaturan upaya ke bisnis, dan mengakses pinjaman domestik untuk membiayai investasi prasarana pasokan air," katanya.