Kenaikan Harga Gas Picu Biaya Produksi Tinggi

Sedang Trending 9 jam yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Bidang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Akhmad Ma’ruf Maulana mengatakan para pengusaha dan pelaku industri di area Batam dan Kepulauan Riau mengeluhkan soal rencana kenaikan nilai gas bumi. Kondisi ini dilatari salah satunya lantaran adanya rencana gas bumi ini bakal dicampur dengan Liquefied Natural Gas (LNG).

“Rencananya bakal dicampur dengan LNG, sehingga mengakibatkan lonjakan nilai bagi para pelaku upaya dan perusahaan tenant di area industri,” kata Akhmad saat ditemui di area Jakarta Pusat, pada Rabu, 8 Januari 2025. 

Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pengusaha juga sudah menerima surat info dari Perusahaan Gas Negara pada Desember 2024 nan menyatakan kenaikan nilai gas dan sistem kuota diterapkan per 1 Januari 2025. PGN berdasar terdapat gangguan suplai dari hulu sehingga nilai gas kudu diubah.

Ketua Kadin Kepulauan Riau itu mengatakan kondisi ini juga diperburuk oleh kebijakan ekspor pipa gas secara penuh ke Singapura nan juga berakibat pada kesiapan di dalam negeri menjadi terbatas. Menurut dia, dari tingginya biaya pembelian gas juga otomatis meningkatkan biaya produksi nan signifikan. Selain membebani operasional harian, kondisi ini juga disebut bakal berpotensi adanya efisiensi bisnis. 

“Efisiensi upaya juga terancam, lantaran mereka kudu menghadapi persaingan nan semakin ketat dengan wilayah lain nan menawarkan tarif daya lebih kompetitif,” kata dia. 

Secara makro, kata Akhmad, kenaikan nilai gas berpotensi menghalang sasaran pertumbuhan ekonomi di pemerintahan Presiden Prabowo sebesar 8 persen. Sebab, biaya produksi dan operasional nan meningkat para pelaku upaya di Batam bakal dihadapkan pada tantangan berat untuk menjaga daya saing dan memenuhi sasaran pertumbuhan tersebut.

“Kenaikan biaya daya tidak hanya memicu peningkatan beban operasional, tetapi juga memunculkan kekhawatiran bakal kemungkinan pemindahan operasional perusahaan tenant ke area lain nan menawarkan tarif daya lebih kompetitif,” kata dia. 

Kondisi serupa juga dialami Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta. Dia mengatakan para pengusaha kelimpungan mencari pengganti gas murah. 

Menurut Redma, para pemasok gas swasta pun terpengaruh rencana PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dan PT Pertamina Gas alias Pertagas nan bakal mematok nilai di atas US$ 16 per juta metrik British thermal unit (MMBTU). “Alasannya, suplai menipis,” katanya pada Jumat, 3 Januari 2025. Pengusaha tekstil, Redma menambahkan, tak punya pilihan selain menanggung nilai gas nan cukup tinggi sembari melakukan efisiensi di sana-sini. 

Industri tekstil tidak termasuk sektor upaya nan berkuasa mendapat nilai gas bumi tertentu (HGBT) nan ditetapkan pemerintah US$ 6 per MMBTU. Pemerintah sampai saat ini menetapkan tujuh sektor industri penerima HGBT, ialah keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet. Industri tekstil dan sektor lain nan tak tergolong penerima insentif HGBT kudu menebus gas dengan nilai komersial, ialah di atas US$ 10 per MMBTU.

Redma mengatakan pengusaha membuka opsi mengimpor gas dari Timur Tengah. Dia mengungkapkan, sempat ada info pasokan gas dari Qatar seharga US$ 3 per MMBTU. "Dengan ongkos kirim, regasifikasi, sampai penyaluran ke sini harganya US$ 6 per MMBTU,” tuturnya. Namun rencana impor gas secara langsung terhalang regulasi. Pemerintah hanya mengizinkan impor gas dilakukan oleh badan upaya hilir minyak dan gas bumi, bukan pengguna akhir seperti industri tekstil.

Redma membandingkan, nilai gas di India, Vietnam, dan Cina nan selama ini menjadi pesaing Indonesia di sektor tekstil jauh lebih murah, ialah US$ 4-6 per MMBTU. Karena itu, tak asing jika daya saing pabrik tekstil nasional kalah dibanding negara-negara tersebut. 

Nasib industri penerima HGBT pun tak jauh berbeda. Industri keramik, misalnya, juga tak bisa sepenuhnya menikmati nilai unik US$ 6 per MMBTU setelah PGN memberlakukan sistem kuota serta sistem alokasi gas industri tertentu (AGIT). Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengeluhkan sikap PGN nan menurut dia sewenang-wenang. Dia mengungkapkan, sejak 2024, pengusaha keramik bayar gas US$ 6,5 per MMBTU alias di atas HGBT. "Jika pemakaian gas di atas AGIT, kami bakal dikenai nilai komersial US$ 16,7 per MMBTU,” ucapnya.

Tantangan Industri di Kawasan Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

Pelaku upaya di Batam juga dihadapkan dengan potensi migrasi alias relokasi industri ke wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Malaysia dan Singapura. Kedua negara itu telah menyepakati perjanjian berbareng penerapan KEK Johor-Singapura untuk menarik investasi global. Selain letak nan berdekatan, Akhmad mengatakan para industri berpotensi migrasi ke area ini pemerintah Singapura juga bakal memberi insentif pendanaan bagi perusahaan nan join ke area ekonomi unik itu. 

“Ini tentu bakal menjadi tantangan tersendiri bagi industri khususnya di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam,” kata dia. 

Jika relokasi ini terjadi dalam skala signifikan, Akhmad mengatakan Batam bakal menghadapi peningkatan nomor pengangguran. Selain itu, tenant industri nan selama ini menjadi salah satu motor penggerak ekonomi di sana berpotensi memberhentikan sebagian tenaga kerja lokal alias memindahkan karyawannya ke negara tujuan relokasi. Kondisi ini pun juga bakal dibuntuti dengan perpindahan operasional industri ini nan bakal berakibat pada penurunan Produk Domestik Regional Bruto daerah. Padahal, sektor industri manufaktur menyumbang porsi signifikan terhadap keahlian ekonomi Batam dan Kepulauan Riau secara keseluruhan.

Karena itu, Akhmad mengatakan para pengusahaan mengusulkan agar pemerintah dan pejabat pemilik kepentingan segera meninjau skema pencampuran gas pipa dengan LNG agar tak membebani industri secara berlebihan. “Kebijakan nan tepat diharapkan dapat menekan nilai daya dan menjaga daya saing tenant di area industri,” kata dia. 

Selain itu, pengusaha juga meminta pemerintah menerapkan domestic market obligation nan lebih besar bagi industri dalam negeri. Senyampang, pemerintah juga diminta untuk merevisi terhadap kebijakan ekspor gas ke Singapura. 

“Langkah ini krusial untuk memastikan kesiapan gas bumi nan memadai bagi kebutuhan dalam negeri. Sebagai salah satu pusat industri, Batam memerlukan pasokan gas nan stabil dan terjangkau agar industri tetap tumbuh.” kata dia. 

Sementara itu, Akhmad mengatakan para pengusaha juga meminta pemerintah agar menguatkan prasarana energi, termasuk terminal LNG, jaringan pipa, dan akomodasi pendukungnya. Langkah ini dinilai juga bakal memberikan efisiensi pengedaran dan menurunkan biaya. 

“Melihat akibat besar nan ditimbulkan, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam memberikan intervensi dan kebijakan nan tepat, termasuk menghadirkan kepastian norma melalui izin nan mendukung penetapan nilai daya kompetitif,” kata dia. 

Goida Rahma berkontribusi dalam penulisan tulisan ini 

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis