TEMPO.CO, Jakarta - Dua organisasi jasa pikulan daring menolak rencana Kementerian Ketenagakerjaan soal keanggotaan iuran Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Pemerintah melalui PP Nomor Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera bakal memungut iuran 3 persen dari penghasilan para pekerja.
Ketua Asosiasi Driver Ojol Taha Syafariel mengatakan organisasinya menolak keras rencana pungutan itu lantaran merugikan pengemudi ojol. Dia menyebut patokan ini justru memposisikan pengemudi ojol kian tersiksa. “Pengemudi berbasis aplikasi ini betul-betul jadi jenis masyarakat nan tersiksa dan dimarjinalisasi,” kata Taha saat dihubungi pada Ahad, 2 Juni 2024.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker sebut tetap mengkaji apakah pengemudi ojek daring ini bakal masuk kriteria peserta dari program Tapera. Lantaran, sampai saat ini, belum ada izin teknis nan mengatur soal kepesertaan tentang ojol. Oleh lantaran itu, pemerintah baru bakal membahas patokan itu dengan merumuskan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker).
Sementara itu, Ketua Asosiasi Driver Ojol Taha Syafariel menyebut daripada memungut iuran dari ojol, lebih baik pemerintah mengakui status para pengemudi ojek daring sebagai golongan nan bisa dilindungi seperti dalam UU Ketenagakerjaan. Saat ini, menurut taha, para pekerja ojol tak mendapat perlakukan layak. Contohnya saja tunjangan hari raya dan juga skema kemitraan tanpa perjanjian kerja nan jelas. Tentu menolak Tapera, sebelum status norma ketenagakerjaan kami disahkan,” kata dia.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, juga menolak PP Tapera itu. Dia menyebut patokan itu bakal membebani pekerja pikulan online seperti ojek, taksi, dan kurir. “SPAI menolak Tapera lantaran potongan sebesar 3 persen dari bayaran sangat memberatkan pekerja pikulan online seperti taksol, ojol dan kurir di tengah kenaikan nilai barang-barang,” kata Lily saat dihubungi pada Ahad, 2 Juni 2024.
Lily menilai pungutan itu sama dengan mengurangi penghasilan para pekerja, apalagi belakangan sedang menurun. Dia menyebut para pekerja ojek daring sudah mendapat potongan lewat skema kemitraan aplikasi sebesar 30 hingga 70 persen. “Dengan hubungan kemitraan, aplikator telah semena-mena melakukan potongan. Itupun sudah melanggar pemisah patokan maksimal potongan 20 persen nan diatur pemerintah,” kata Lily.
Lily berambisi pemerintah lebih berpihak kepada pekerja pikulan daring ini agar penghasilan bertambah daripada menambah pungutan iuran dari mereka. Menurut Lily, rata-rata penghasilan pengemudi ojek daring saat ini hanya berkisar Rp50-100 ribu.
Pendapatan tersebut menurut Lily apalagi belum dikurangi dari kebutuhan biaya operasional seperti BBM, pulsa, biaya servis, suku cadang, parkir, angsuran kendaraan, atribut jaket dan helm.
- 1
- 2
- Selanjutnya