Kurs Rupiah Melampaui Asumsi Makro APBN, Ekonom: Depresiasi yang Tidak Terkendali

Sedang Trending 3 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin S. Damanhuri, buka bunyi perihal pelemahan rupiah nan tidak terkendali. Bahkan, kurs rupiah telah melampaui dugaan makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. 

Hingga Jumat kemarin, 28 Juni 2024, rupiah ditutup pada level Rp 16.375 per dolar Amerika Serikat (AS). Padahal, dugaan makro APBN 2024 hanya Rp 15.000 per dolar AS. "Ini depresiasi rupiah nan tidak terkendali. Walaupun sempat diusahakan dengan operasi pasar oleh BI (Bank Indonesia) turun, tapi kemudian naik lagi, apalagi nyaris menyentuh Rp 16.500," katanya kepada Tempo pada Sabtu, 29 Juni 2024.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa awal tahun hingga saat ini rupiah telah terdepresiasi 6,25 persen dibanding akhir 2023. Hal ini disampaikannya dalam konfrensi pers APBN pada Kamis, 27 Mei 2024.

Didin menjelaskan beberapa aspek nan mendorong pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Faktor pertama adalah situasi geopolitik dan geoekonomi nan penuh ketidakpastian. Situasi ini akhirnya membikin AS mempertahankan tingkat kembang referensi The Fed di level 5,5 persen. 

Selain itu, situasi ekonomi dalam negeri AS juga menunjukkan data-data nan positif, ialah tingkat kepercayaan konsumen dan produsennya malah membaik. Dengan demikian, ada tarikan dolar dari beragam negara di luar AS masuk ke negaranya. "Nah, itulah nan membikin kemudian kurs rupiah merosot dan kursnya terhadap mata duit lain naik. Ini merupakan sebuah pukulan terhadap APBN kita," kata Didin.

Dia tak menampik bahwa BI memang telah berupaya menjaga stabilitas rupiah dengan beragam metode baru untuk melakukan operasi pasar. Kenyataanya, kata dia upaya BI tidak terlalu sukses sampai hari ini. 

Iklan

Di samping aspek eksternal, Didin menduga aspek lainnya adalah esensial ekonomi Indonesia sendiri nan buruk, mengenai dengan defisit APBN nan direncanakan kisaran 2,45 sampai 2,82 persen. "Ini adalah refleksi bahwa pengeluaran APBN sebelumnya nan umumnya digelontorkan ke proyek-proyek prasarana besar-besaran, nan bakal membikin time lag terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, akibat terhadap pertumbuhan ekonominya tidak terlalu kuat, begitu juga terhadap kesempatan kerja. 

Hal tersebut, kata Didin diperparah dengan gelontoran anggaran support sosial (bansos) besar-besaran nan politis terhadap Pemilu 2024, apalagi Pilkada serentak. "Sehingga, kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembuatan kesempatan kerja."

Pilihan editor: Sri Mulyani: Rupiah Sudah Terdepresiasi 6,25 Persen, Asumsi APBN Rp 15 Ribu per Dolar AS

ANNISA FEBIOLA | ILONA ESTHERINA 

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis