TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo pesimistis Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan bisa diimplementasikan mulai Juni 2025. Pasalnya, meskipun rumah sakit disiapkan, kebijakan KRIS tidak diimbangi konsep pembiayaan asuransi pemerintah tersebut.
"Kalau belum ada kreasi anggaran, rasanya masih kurang sempurna," kata Rahmad dalam aktivitas obrolan 'BPJS Kesehatan dengan KRIS, Permudah Layanan alias Jadi Beban?' di DPR RI, Selasa, 21 2024. "Pesimistis, bukan berfaedah tidak mendukung."
Menurut Rahmad, jika konsep pembiayaan belum disiapkan, penerapan KRIS BPJS berpotensi mundur dari target. Kalaupun ada wacana kerja sama BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta, dia berujar, perincian konsepnya belum jelas.
"Modelnya seperti apa? Itu PR (pekerjaan rumah) besar pemerintah," ujar dia.
Poilitikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu cemas konsep penyelenggaraan KRIS BPJS Kesehatan tanpa mempersiapkan skema pembiayaan bakal berakibat pada peserta. Ia mengingatkan pemerintah agar KRIS BPJS Kesehatan tidak membebani peserta mandiri.
"Jangan sampai ketika KRIS berjalan, terjadi peserta BPJS Kesehatan nan menjadi mantan peserta lantaran tidak bisa bayar iuran kelas mandiri," kata dia.
Pasalnya, peserta berdikari tidak mendapat support dari pemerintah seperti peserta nan tergolong Penerima Bantuan Iuran (PBI). "Ini perlu perhatian dan pemerintah harus cermat," tuturnya.
Presiden Jokowi resmi menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan KRIS. Dalam beleid itu disebutkan, KRIS kudu mulai bertindak tahun 2025.
Sementara KRIS BPJS belum diberlakukan, BPJS Kesehatan tetap menerapkan iuran berdikari peserta kelas I sebesar Rp 150 ribu dan kelas II Rp 100 ribu. Kemudian, iuran kelas III sebesar Rp 42 ribu per orang per bulan dengan subsidi sebesar Rp 7 ribu per orang per bulan dari pemerintah, sehingga nan dibayarkan peserta kelas III hanya Rp 35 ribu.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Agus Suprapto menyatakan pihaknya tetap membahas soal besaran iuran untuk peserta BPJS Kesehatan. DJSN tetap menghitung nilai akibat sebelum nomor iuran ditetapkan. "Kami sedang mengambil data-data nan dibutuhkan agar itungan aktuarinya pas," katanya di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Jumat, 17 Mei 2024.
Namun prinsipnya, kata Agus, DJSN sebagai petugas nan mengevaluasi sistem tersebut tetap memikirkan hak-hak kesehatan masyarakat dengan gotong royong sesuai dengan patokan Undang-Undang.
Lebih lanjut, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menyebut pihaknya membuka opsi alias kemungkinan untuk bekerja sama dengan asuransi swasta. "Peluang membuka kerja sama dengan asuransi itu ada, sepanjang sistem kerja sama tidak berbenturan dengan izin ataupun peraturan mengenai Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)," ujarnya pada Jumat, 17 Mei 2024.
Dia menyebut, perusahaan asuransi swasta dapat mengembangkan produk asuransi untuk menjamin pelayanan kesehatan di luar faedah nan dijamin Program JKN. Di samping itu, juga dapat menciptakan produk nan memungkinkan pasien Program JKN untuk naik kelas ruang rawat inap di atas haknya.
Akan tetapi, sistem koordinasi faedah disebut kudu digodok lebih lanjut. "Harus ada corak kerja sama nan pas dan dibuat izin nan sedemikian rupa agar tidak mengganggu tatanan nan sudah ada saat ini,," ujarnya.
RIRI RAHAYU | AISYAH AMIRA | DESTY LUTHFIANI
Pilihan Editor: Menyongsong Pemberlakuan KRIS: Begini Rincian Sistem Iuran BPJS Kesehatan dari Program JKN