Luhut soal Coretax: Jangan Kritik Dulu, Potensi Penerimaan Pajak Rp1.500 Triliun

Sedang Trending 10 jam yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku mendukung Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) nan sedang dirintis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia mengatakan, support itu dipantik oleh teguran Bank Dunia ihwal rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia nan tetap rendah.

"Bank Dunia mengkritik kita bahwa kita salah satu negara nan mengumpulkan pajaknya tidak baik. Kita disamakan dengan Nigeria," ujar Luhut dalam bertemu pers di Kantor DEN, Jakarta, Kamis, 9 Januari 2025.

Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini

Nigeria merupakan salah satu negara dengan rasio penerimaan pajak terhadap PDB terendah di dunia. Menurut laman resmi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rasio penerimaan pajak Nigeria pada 2022 sebesar 7,9 persen, naik 1,2 persen dari rasio penerimaan pajak pada 2021 sebesar 6,7 persen.

Luhut mengatakan, Bank Dunia berpandangan jika Coretax bisa berjalan, Indonesia bakal memperoleh tambahan rasio penerimaan pajak sebesar 6,4 persen dari PDB alias setara kira-kira Rp1.500 triliun. Eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ini mengatakan, nomor ini telah dia rinci sejak sekarang.

"Saya lihat sih jika kita lakukan dengan baik dan semua sepakat. Jangan berantem gini-gini, tidak usah terus kritik-kritik dulu. Biarkan jalan dulu. Nanti ya kritik, berikan kritik membangun, lantaran ini banyak masalah nan kudu diselesaikan," tuturnya.

Adapun sebelum Coretax resmi diterapkan per 1 Januari 2025, DJP sudah melakukan pra penerapan sistem pajak baru ini sejak 16 hingga 31 Desember 2024. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan masyarakat dapat mulai log in ke sistem Coretax DJP mulai 24 Desember 2024. 
 
Tahap ini bermaksud agar wajib pajak lebih awal mempersiapkan diri sebelum penerapan sistem awal tahun depan. “Harapannya saat penerapan kelak wajib pajak tidak menemui kesulitan penggunaan aplikasi,” ujar Dwi.

Coretax adalah sistem teknologi info terbaru nan dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengintegrasikan seluruh jasa manajemen perpajakan di Indonesia. Kebijakan mengenai sistem Coretax tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 nan ditetapkan Sri Mulyani Indrawati pada 14 Oktober 2024.

Namun dalam pelaksanaannya, banyak wajib pajak nan kesulitan mengakses sistem tersebut. Salah satunya adalah Andi, seorang praktisi perpajakan nan juga mempunyai perusahaan di bagian jasa. Ia menemukan kesulitan dalam pembuatan tagihan pajak di jasa Coretax DJP. “Kami belum bisa buat faktur, belum bisa buat penagihan,” ucap Andi kepada Tempo melalui sambungan telepon, Sabtu, 4 Januari 2025. Dia pun cemas bakal terkena hukuman keterlambatan pembuatan faktur.

Menurut Andi, Kementerian Keuangan melalui DJP kudu segera memberikan kepastian soal sistem Coretax. “Kesalahan akibat manajemen Coretax nan merugikan wajib pajak tuh bagaimana, kudu dipikirkan,” katanya.

Jangan sampai, ucap Andi, perusahaan-perusahaan dibebankan denda akibat keterlambatan pembuatan tagihan padahal kesalahan berada pada sistem jasa DJP. Dia menilai DJP perlu mengeluarkan sebuah peraturan soal ini.

Andi mengatakan kesulitan pembuatan tagihan di jasa Coretax DJP tidak hanya dialami olehnya. Kemarin tim dari perusahaannya telah mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). “Sama juga, rupanya KPP tuh ramai, ya lantaran tagihan pajak kan orang transaksi tiap hari, mungkin per jam, per menit,” ujar dia. Ia menyebut tidak mendapatkan solusi berfaedah dari pihak KPP. Mereka hanya memintanya untuk menunggu.

Ilona Estherina dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis