TEMPO.CO, Badung - Executive Director ISTA Mielke Gmbh, Thomas Mielke memprediksi nilai minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) mengalami peningkatan tahun depan. Namun, dia khawatir, kenaikan nilai ini justru menuai respons negatif dari konsumen. Sebab, peningkatan nilai dan permintaan terhadap CPO oleh industri biofuel tidak sejalan dengan produksi sawit nan stagnan.
“Peningkatan nilai ini berpotensi membikin para produsen biofuel enggan memakai CPO sebagai bahan baku utama,” ujarnya dalam aktivitas "20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024)", Jumat, 8 November 2024, di Nusa Dua, Bali.
Menurut Mielke, beberapa industri biofuel di Amerika dan Eropa tengah mengalami tekanan secara finansial. Bahkan, Brazil, kata dia, beriktikad menunda penyelenggaraan program mandatori biodiesel jika nilai CPO terus melonjak.
Dia pun menyoroti produktivitas CPO Indonesia nan menurun dan condong stagnan hingga tahun 2026 mendatang. Ditambah lagi, kebun-kebun kelapa sawit di dalam negeri tengah mengalami moratorium meski sebagian telah memasuki usia replanting. Sehingga, kata dia, berakibat pada penurunan yield.
“Hal ini berpotensi membikin CPO tak lagi dilihat sebagai minyak nabati terbaik dengan nilai nan rendah,” kata dia.
Lebih lanjut, Mielke mengatakan, penyelenggaraan mandatori B40 juga bakal berakibat pada menurunnya jumlah sawit untuk ekspor. Dia menilai, perihal ini juga bakal mempengaruhi kenaikan nilai minyak nabati, seperti soya dan CPO setidaknya 10 hingga 15 persen untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
“Kenaikan nilai minyak nabati ini juga bakal dimanfaatkan oleh produsen canola, rapeseed, dan sunflower untuk memperluas wilayah,” kata dia.
Senada dengan nan disampaikan Mielke, Managing Director Glenauk Economics Julian Mc Gill mengatakan, kenaikan nilai CPO merupakan refleksi dari minimnya kesiapan pasar. Menurut dia, perlambatan pertumbuhan lahan perkebunan membikin pasokan sawit stagnan.
Julian menjelaskan, tahun 2019, ekspor CPO Indonesia mencapai 36,17 juta ton. Angka ini, kata Julian, telah dilampaui oleh ekspor minyak kedelai nan mencapai 40 ton pada tahun 2023. “Lihat, ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada tahun 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” kata dia.
Lebih lanjut, Julian menyebut, saat ini nilai CPO saat ini telah masuk dalam kategori minyak nabati premium seperti rapeseed.
Adapun, Direktor Godrej International Ltd Dorab Mistry mengatakan, proyeksi nilai CPO pada bursa Malaysia berpotensi mencapai RM 5.000 hingga bulan Juni 2025.
“Saya pikir, nilai ini tetap bisa menembus nilai tertinggi. Oleh lantaran itu, kami kudu bersiap-siap untuk nilai nan lebih tinggi,” ujar Dorab.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonedia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, terjadi penurunan produktivitas sawit pada tahun 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Eddy mencatat, hingga Agustus 2024, produksi sawit nasional berada di nomor 34,7 juta ton. Sedangkan, tahun lampau produksi sawit mencapai 36,2 juta ton pada periode nan sama.
“Indonesia sebagai produsen sawit bumi mengalami stagnasi produksi sawit selama beberapa tahun terakhir,” ujar Eddy.