TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan kebijakan program Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera mendapatkan penolakan dari publik nan keras. Penolakan itu tak hanya dari pekerja, tapi juga dari pengusaha.
Dia menyebut penolakan tersebut dilatari beragam problem. “Pertama, lantaran kebutuhan terhadap pembiayaan perumahan ini tidak dialami semua pekerja,” kata Yusuf kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin malam, 3 Juni 2024.
Menurut dia, sebagaian besar masyarakat alias sekitar 82 persen sudah terkategori mempunyai rumah sendiri. Hanya sekitar 18 persen family Indonesia masuk kategori belum mempunyai rumah.
Adanya program Tapera ini, sebagian besar pekerja bakal merasa dirugikan jika diwajibkan bayar iuran dalam waktu panjang. Apalagi menghadapi ketidakpastian tentang jumlah biaya nan bakal mereka terima di masa depan. “Kedua, tata kelola pengelolaan biaya publik oleh pemerintah selama ini buruk, sehingga kepercayaan publik rendah,” ujar dia.
Pemberlakuan Tapera kembali ditetapkan pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Menurut Yusuf, pengalaman dari program serupa sebelumnya, ialah program Badan Pertimbangan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum PNS). Tak sedikit peserta nan setelah pensiun mengalami kesulitan mengambil biaya tabungan mereka.
“Bahkan dalam beberapa tahun terakhir publik memandang kasus-kasus mega korupsi nan melibatkan puluhan triliun rupiah biaya publik lenyap di Jiwasraya, Asabri, dan Taspen,” tutur dia.
Selanjutnya: Ketiga, penolakan nan terjadi saat ini lantaran pekerja dan pengusaha....
- 1
- 2
- Selanjutnya