TEMPO.CO, Jakarta - Neraca perdagangan minyak dan gas bumi (migas) selama Januari hingga Oktober 2024 tercatat mengalami defisit sekitar US$ 17,39 miliar. Defisit perdagangan sektor migas untuk bulan Oktober 2024 mencapai US$ 2,32 miliar dengan rincian ekspor sebesar US$ 1,35 miliar dan impor sebesar US$ 3.67 miliar.
Berdasarkan info nan dikeluarkan Kementerian finansial (Kemenkeu), realisasi penerimaan pajak dari sektor migas mengalami penurunan. Per 30 September 2024, Pajak Penghasilan (PPh) Migas membukukan realisasi Rp48,81 triliun, 63,91 persen dari target. Hal ini menunjukkan adanya kontraksi sebesar 10,13 persen secara yoy. “Penurunan realisasi PPh Migas pada periode ini disebabkan oleh realisasi lifting minyak dan gas bumi nan berada di bawah sasaran dan capaian tahun sebelumnya,” bunyi arsip APBNKiTa Oktober 2024.
Ekonom dan pengamat daya Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai Indonesia sudah tidak bisa lagi menggantungkan pendapatannya ke sektor migas. Sebab selama ini sasaran lifting alias eksplorasi minyak tidak kunjung tercapai. Maka, susah untuk berambisi sektor migas bisa terus menjadi sektor utama penyumbang pendapatan negara. “Itu mengindikasikan bahwa Indonesia tidak bisa lagi berambisi pendapatan dari migas,” ujar Fahmy lewat sambungan telepon, Ahad, 17 November 2024.
Oleh lantaran itu menurut Fahmy, sudah semestinya Indonesia meninggalkan sektor migas dan beranjak ke sektor lainnya nan mempunyai potensi nan lebih besar. Fahmy lantas menyarankan agar pemerintah mulai serius mengeksplorasi sektor daya baru dan terbarukan (EBT) nan menurutnya mempunyai potensi nan besar. “Saya kira sudah saatnya Indonesia beranjak dari daya fosil tadi kepada daya baru terbarukan. Seperti nan disampaikan oleh Prabowo,” ucapnya.
Pengembangan EBT tadi, kata Fahmy, sudah semestinya menjadi prioritas pemerintah mulai saat ini. Dengan potensi nan besar, selain mencukupi kebutuhan dalam negeri, sektor EBT apalagi dinilai bisa untuk melakukan ekspor ke depannya. “(Migas) ditinggalkan pelan-pelan. Kemudian dalam waktu nan berbarengan mengembangkan EBT tadi, dan kita punya potensi (EBT) nan cukup besar,” ujar Fahmy.