TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif mengatakan, Indonesia mempunyai komoditas tambang sangat signifikan. Menurut dia, komoditas itu terdiri dari tembaga, emas, alumina, besi, nikel, hingga timah.
"Kalau bicara soal persediaan itu enggak ada artinya," kata dia, dalam aktivitas Ngobrol Tempo berjudul "Pertambangan untuk Kebangkitan Ekonomi dan Keberlanjutan" di Plataran Menteng, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Juni 2024.
Irwandy menjelaskan, nilai persediaan sumber daya nan dimiliki oleh Indonesia. Nilai persediaan Indonesia mencapai sekitar USD 4 triliun. Menurutnya, dua per tiga dari persediaan komoditas berasal dari batubara. Dia mengatakan, dari batubara—Indonesia mengalami tekanan untuk mengarah ke net zero emission, maka dua per tiga dari kekayaan USD 4 triliun tersebut hilang.
"Tapi kami menganggap ini bakal berkembang terus sampai dengan akhir net zero emission tahun 2060," tutur Irwandy. Dalam presentasi nan dibuka dalam obrolan Tempo itu, tampak nomor dari nilai kekayaan persediaan komoditas mineral dan batubara. Kekayaan mineral senilai USD 0,8-0,92 triliun dan batubara USD 2,18-3,10 triliun.
Adapun Kementerian ESDM mencatat, total kekayaan itu pada 2023 berada pada nomor USD 3,11-3,9 triliun. Menurut info kementerian ini juga, nilai persediaan itu bakal bertambah andaikan sumber daya berubah status menjadi cadangan.
Iklan
Dia menjelaskan, Indonesia tak cukup hanya mempunyai komoditas. Komoditas persediaan itu menurut penjelasan dia, kudu dikelola agar lebih berharga. Cara menaikan nomor komoditas itu, kata dia, dengan melakukan hilirisasi. "Apakah ini sudah betul alias tidak? Ini tetap banyak kontroversi," tutur dia.
Misalnya, dia menjelaskan, bahwa hilirisasi ini ditujukan untuk mineral kritis. Seperti nikel-kobalt diarahkan ke baterai. Sementara nikel-kobalt nan diarahkan ke besi dan baja tak bakal diterbitkan izin baru. "Karena sudah terlalu banyak," tutur dia. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa nikel nan RKB telah disetujui untuk produksi pada 2024 mencapai 220 juta ton.
Padahal, sampai saat ini persediaan Indonesia berasas info dari badan pengetahuan bumi hanya 5,3 miliar ton. Artinya, dia mengatakan 5,3 miliar ton dibagi 220 juta ton—dan tahun depan diprediksi berkembang mendekati 400-500 juta (ton), umurnya kurang dari sepuluh tahun. "Dan ini bakal berbahaya," ujar dia. "Tahun ini kita sudah mulai mengimpor bijih nikel dari Filipina."
Pilihan Editor: Rugi Rp 1,8 Triliun, Bos Kimia Farma Beberkan Penyebabnya