Penanganan Perkara Dinilai Lambat, Guru Ngaji Bekasi Menanti Keadilan

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sekaligus guru ngaji di Bekasi Muhammad Fikry berbareng tiga orang temannya tetap menanti keadilan. Lebih dari dua tahun laporan dugaan penyiksaan dan pencurian nan melibatkan personil Polsek Tambelang dan Unit Kejahatan dan Kekerasan Polres Metro Bekasi tidak ada perkembangan signifikan.

Andrie Yunus, perwakilan dari KontraS sekaligus Tim Advokasi Anti-Penyiksaan menilai proses penanganan laporan polisi mengenai dengan penyiksaan dan pencurian nan dialami oleh Fikry dkk oleh interogator Unit IV/Subdit Umum Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya dapat dikategorikan sebagai penundaan berlarut (undue delay).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara sederhana, undue delay dapat diartikan sebagai lambatnya suatu proses penanganan perkara tanpa dasar dan argumen nan dapat diterima," ujar Andrie melalui keterangan tertulis, Senin (29/7).

Menurut dia, perihal tersebut lantaran interogator nan tidak ahli apalagi diduga sudah diniatkan sejak awal dengan motif jelek (improper motive) di luar kepentingan korban dan penegakan hukum.

Andrie mengatakan kondisi tersebut berakibat pada proses norma nan dibutuhkan korban tindak pidana sebagai salah satu corak pemulihan menjadi terlantar.

"Jika ditinjau dari sisi nan lain, undue delay juga berakibat nasib terlapor/tersangka nan menjadi terkatung-katung penuh ketidakpastian," kata dia.

Padahal, dia menjelaskan andaikan merujuk pada Pasal 9 ayat (3) ICCPR, setiap orang nan dituduh melakukan tindak pidana wajib diproses norma dan segera dihadapkan ke muka persidangan. Begitu pula dalam ketentuan Pasal 50 KUHAP nan pada intinya menjamin kewenangan seorang tersangka untuk segera diadili di muka persidangan demi tercapainya keadilan.

"Sudah tiga tahun sejak mengalami salah tangkap dan penyiksaan, empat pemuda asal Kabupaten Bekasi, Fikry, Abdul, Randy, dan Rizky belum juga mendapatkan keadilan," ucap Andrie.

Atas kondisi tersebut, Tim Advokasi Anti-Penyiksaan meminta Kapolda Metro Jaya untuk segera meningkatkan status penyelidikan menjadi investigasi dalam kasus dugaan penyiksaan dan pencurian, serta menetapkan tersangka.

Kemudian, Presiden dan DPR diminta untuk memerintahkan Kapolri untuk melakukan pertimbangan menyeluruh dan mengambil langkah perbaikan bagi penyelenggaraan tugas nan mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan kewenangan asasi manusia.

"Petugas nan melakukan tindak kekerasan kudu segera ditindak melalui proses peradilan pidana nan transparan, sehingga bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan norma di tubuh internal kepolisian," kata Andrie.

Luka penyiksaan belum pulih

Fikry sudah dibebaskan berasas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 170/PID/2022/PT BDG lantaran sukses membuktikan penyangkalan dan alibi nan tidak pernah berada pada letak kejadian (locus) dan waktu (tempus) tindak pidana nan dituduhkan.

Namun, Abdul, Randy, dan Rizky hingga sekarang tetap hidup dengan stempel bersalah. Luka bentuk maupun psikis akibat penyiksaan nan mereka alami apalagi belum juga pulih.

Sebelumnya, pada malam sekitar pukul 18.30 WIB, Rabu 28 Juli 2021, Fikry dkk melewati situasi nan kelam. Tepat di warung milik Rusin (ayah Fikri), tiba-tiba datang sekumpulan orang berbadan tegap nan mengaku sebagai personil campuran dari unit Reskrim Polsek Tambelang dan Unit Jatanras Polres Metro Kabupaten Bekasi.

Tanpa manajemen investigasi nan jelas, Fikry dan delapan orang temannya ditangkap. Mereka dituduh terlibat dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan/aksi pembegalan nan terjadi pada 24 Juli 2021 di Jalan Raya Sukaraja RT 02/RW 003 Desa Sukaraja, Tambelang, Kabupaten Bekasi dengan pelapor atas nama DF.

Alih-alih dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur KUHAP, Fikry dkk justru diturunkan di laman gedung Telkom Tambelang nan berada persis di depan instansi Polsek Tambelang. Di tempat tersebut, mereka mengalami tindakan penyiksaan selama delapan jam agar mengakui perbuatan tindak pidana pencurian dan kekerasan (begal) nan sebenarnya tidak pernah dilakukan.

Karena tak kuat menahan siksaan, Fikry, Abdul, Randy, dan Rizky akhirnya terpaksa mengaku, mereka pun akhirnya diproses norma lebih lanjut.

Penyiksaan nan mereka alami bukan sekadar tuduhan belaka. Hal tersebut didasarkan pada keterangan Fikry dan delapan kawan serta Keterangan Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Nomor: 15/HM.00/IV/2022 mengenai Laporan Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Kasus Dugaan Penyiksaan Sdr. M. Fikry dkk oleh Anggota Polsek Tambelang/ Polres Metro Bekasi.

Komnas HAM menemukan setidaknya 10 corak tindak penyiksaan dan delapan corak kekerasan verbal. Akibat penyiksaan tersebut, terdapat luka-luka membekas pada bagian wajah, badan, dan bagian jari-jari kaki mereka. Tak hanya luka nan membekas, berasas arsip tertulis hasil asesmen psikologis dari psikolog nan dirujuk oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI, mereka mengalami trauma berat seperti resah dan takut pasca tindakan penyiksaan tersebut.

Selain mengalami penyiksaan, mereka juga kehilangan peralatan berupa handphone sebanyak tiga unit. Dalam siaran pers Kapolsek Tambelang nan dirilis ke publik pada 30 Juli 2021, tiga unit telepon genggam tersebut dijadikan peralatan bukti. Namun, tidak terdapat buletin aktivitas penyitaan dalam berkas perkara dan tidak pernah dihadirkan selama persidangan.

(ryn/pmg)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional