TEMPO.CO, Karanganyar - Sekitar 100 petani dari beragam komponen nan tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan Serikat Tani Bumi Intanpari mendatangi gedung DPRD Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Selasa, 24 September 2024.
Bertepatan dengan momentum Hari Tani Nasional 2024, para petani menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada jejeran wakil rakyat dan pemerintah di kota berjuluk Bumi Intanpari itu, dalam penanganan persoalan seputar pertanian dan kaum petani.
Koordinator tindakan dan perwakilan dari AGRA, Yosef Heriyanto, mengemukakan berasas riset nan dilakukan berangkaian dengan bagian pertanian dan kaum petani di Kabupaten Karanganyar terdapat beberapa poin nan kemudian menjadi tuntutan kepada DPRD maupun Pemerintah Kabupaten Karanganyar.
Penyampaian aspirasi tersebut juga didukung sejumlah komponen masyarakat dan mahasiswa, di antaranya Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Karanganyar, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Surakarta, Front Mahasiswa Nasional (FMN) UNS, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FP UNS, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FP, dan League of Social Studies & Research (LSSR).
"Dari riset nan kami lakukan ada 4 perihal nan mau kami sampaikan kepada para personil Dewan dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Pertama, kaitannya dengan air," ungkap Yosef ketika ditemui wartawan seusai berjumpa dengan personil DPRD dan jejeran Dinas Pertanian di kabupaten itu.
Berkaitan dengan persoalan air, Yosef mengatakan Kabupaten Karanganyar saat ini sudah masuk fase krisis air. Apalagi aliran air untuk area pertanian terkena akibat dari pengelolaan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah itu nan mengambil kurang lebih 30 titik sumber mata air di lereng Lawu.
"Kami menuntut agar itu (pengambilan air untuk aliran ke pertanian) segera dihentikan," ucap dia.
Persoalan kedua berangkaian dengan pupuk. Ia menjelaskan mengenai pupuk ini menjadi persoalan nan dari tahun ke tahun tidak pernah ada penyelesaian nan baik. Ia mencontohkan persoalan mengenai pengedaran pupuk nan terlambat hingga kelangkaan.
"Kalaupun ada pupuk non-subsidi, harganya tinggi antara Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu per kuintal. Atas persoalan ini, kami mendesak pemerintah membikin suatu izin nan menjamin kesediaan pupuk dengan nilai nan murah bagi petani," kata Yosef.
Selanjutnya: Persoalan nan ketiga berangkaian dengan masalah nilai gabah....
- 1
- 2
- Selanjutnya