TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal meningkatkan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai bertindak pada 1 April 2022, dan PPN 12 persen bertindak paling lambat pada 1 Januari 2025. Pemberlakuan kenaikan PPN 12 persen bakal berakibat pada ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Mirip dengan “Peringatan Darurat” beberapa bulan lalu, belakangan tagar Tolak PPN 12 Persen juga ramai menjadi kata kunci nan banyak diperbincangkan di media sosial X.
1. Muncul Ajakan Tolak Bayar Pajak
Merujuk hasil kajian dari Drone Emprit nan dipublikasi di akun X mereka, sentimen netizen di media sosial terhadap kenaikan PPN luar biasa negatif. Tercatat, 79 persen dari respon masyarakat memberikan sentimen nan negatif terhadap rumor ini.
Bahkan, menurut Drone Emprit, muncul potensi ataupun rayuan boikot dari masyarakat untuk tidak bayar pajak. Selain itu, muncul juga banyak rayuan untuk mengetatkan pengeluaran dan menurunkan tingkat konsumsi sehari-hari. Hal nan dikhawatirkan oleh para ahli ekonomi sebagai kejadian underconsumption.
2. Partai Buruh Ancam Mogok Massal
Penolakan juga disuarakan oleh rakyat secara langsung, salah satunya adalah golongan pekerja. Partai Buruh, sebagai satu-satunya partai politik nan digerakkan oleh kelas pekerja, menolak dengan tegas wacana PPN 12 persen dan menakut-nakuti bakal mogok massal jika kenaikan PPN tidak segera dibatalkan.
“Kenaikan PPN menjadi 12 persen bakal berakibat langsung pada nilai peralatan dan jasa nan semakin mahal. Di sisi lain, kenaikan bayaran minimum nan mungkin hanya berkisar 1 persen hingga 3 persen tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
3. Pemerintah Diminta Menunda Kenaikan PPN
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal merekomendasikan penundaan terhadap kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, guna mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi nan lebih tinggi.
"Ditunda mestinya, jadi it's not a good timing. Itu jika kita berbincang masalah mengatasi kesenjangan ekonomi pada saat sekarang, dan juga sasaran pertumbuhan ekonomi, lantaran sasaran pertumbuhan ekonominya mau lebih tinggi kan," ujar Faisal di Jakarta, Selasa, 19 November 2024.
Faisal menjelaskan produk peralatan jadi seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, furnitur bakal mengalami penurunan pembelian saat dikenakan PPN 12 persen. Barang-barang tersebut, kata Faisal, lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat dari kelas menengah, nan total nilai konsumsinya mencapai 84 persen.
4. Berpotensi Mengurangi Pendapatan
Ekonom Center of Economics and Law Studies, Nailul Huda mengatakan penerapan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan nan dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
Dia berambisi pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah. “Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) bakal meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
5. Apindo Sebut Khawatir Konsumsi Masyarakat Menurun
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menegaskan bahwa Apindo dalam posisi kontra terhadap wacana kenaikan PPN 12 persen. Shinta menuturkan penolakan tersebut berdasarkan kekhawatiran penurunan konsumsi masyarakat.
“Implementasi kebijakan PPN pada saat seperti ini justru berisiko menekan konsumsi domestik,” kata Shinta seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 22 November 2024.
YOLANDA AGNE | ANANDA RIDHO SULISTYA | VENDRO IMMANUEL G
Pilihan editor: Hippindo Ungkap Alasan Kebutuhan Pokok Bisa Kena Dampak PPN 12 Persen