Politik Kooptasi DPR lewat Revisi UU MK

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi III DPR diam-diam menggelar rapat pengesahan tingkat satu dan menyepakati revisi UU MK perubahan keempat dibawa ke tingkat dua. Revisi UU MK sekarang selangkah lagi disahkan menjadi UU.

Sebenarnya, pengesahan revisi UU MK sempat ditunda lantaran menuai penolakan sejumlah pihak. Namun, sekarang dilanjutkan dengan memuat pasal-pasal nan dianggap problematik. Mulai dari pertimbangan pengadil oleh lembaga pengusul hingga memasukkan unsur perwakilan lembaga di MKMK.

Sejumlah pertanyaan pun mencuat. Apa urgensi dari revisi UU MK? Mengapa pembahasan dilakukan ketika masa reses? Atau, apa motif kreator UU memasukkan unsur perwakilan lembaga di MK?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' meyakini ada motif terselubung dari revisi UU MK. Terlebih, revisi UU MK ini dibahas secara diam-diam di masa reses.

Herdiansyah berkata memang tidak ada larangan secara definitif untuk membahas RUU di masa reses. Namun, bukan berfaedah perihal tersebut diperbolehkan.

"Definisi masa reses itu kan agenda di luar masa sidang, jadi gimana mungkin agenda di luar masa sidang tapi justru dijadikan masa pembahasan RUU? Kan, ngaco jalan pikirannya!" kata Herdiansyah kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/5).

Herdiansyah meyakini motif utama revisi UU MK adalah untuk mengkooptasi dan mengendalikan hakim-hakim konstitusi.

Oleh karena itu, dia tidak tidak heran jika di dalam draf revisi itu diatur mengenai masa kedudukan 10 tahun. Lalu, setelah 5 tahun wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk dievaluasi dan mendapatkan persetujuan apakah masa kedudukan hakimnya bisa dilanjutkan alias tidak.

Soal pertimbangan pengadil konstitusi ini diatur pada Pasal 23A Ayat 2. 

"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setelah lima tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul nan berkuasa untuk mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya," demikian bunyi Ayat 2 Pasal 23A.

Menurut Herdiansyah keinginan DPR mengkooptasi MK bukan tanpa tujuan. Apalagi, MK punya peran strategis dalam menentukan nasib produk legislasi DPR nan masuk meja sidang.

"Upaya kooptasi terhadap MK, agar sejalan dengan selera subjektif lembaga-lembaga pengusulnya, terutama DPR dan Pemerintah," kata dia.

Herdiansyah mengatakan jika RUU ini disahkan, Indonesia mungkin bakal menjadi satu-satunya nan memberhentikan pengadil di tengah masa kedudukan atas dasar persetujuan lembaga pengusul.

"Ini, kan, gila!" ujar Herdiansyah.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti juga menyoroti Pasal 23A tentang pertimbangan pengadil MK.

Pasal tersebut adalah pasal sisipan dalam revisi RUU MK. Artinya, pada perubahan sebelumnya alias ketiga, pasal tersebut tidak ada kemudian ditambahkan dalam perubahan keempat alias terbaru.

Menurut Bivitri, patokan pertimbangan pengadil MK dalam pasal itu melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman.

Bivitri mengingatkan ada Bangalore Principles of Judicial Conduct, ialah prinsip-prinsip nan disusun oleh para pengadil dari beberapa negara bumi sebagai standar kode etik hakim.

Dalam turunan prinsip itu dijelaskan bahwa kedudukan pengadil adalah independen, tidak bisa dievaluasi alias apalagi diintervensi oleh pihak eksternal.

"Jabatan pengadil itu kudu fix, enggak boleh dievaluasi oleh lembaga lain. Walaupun itu nan mengusulkan, alias bukan mengusulkan, walaupun lembaga itu nan memilih hakim," ujarnya.

"Karena ketika pengadil dipilih, konsepnya pemilihan, bukan perwakilan. Jadi itu udah salah tuh," imbuhnya.

Bivitri juga menyoroti ketentuan penambahan perwakilan baru untuk personil Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam RUU MK perubahan keempat.

Pada UU MK perubahan ketiga, MKMK berjumlah lima orang nan terdiri dari satu orang pengadil MK, satu personil praktisi hukum, dua personil nan terdiri salah satu alias keduanya merupakan master hukum, dan satu orang tokoh masyarakat.

Dalam perubahan keempat, meski tetap berjumlah lima orang, personil MKMK nantinya bakal terdiri dari satu pengadil MK, satu personil usulan MK, satu personil usulan MA, satu personil usulan DPR, dan satu personil usulan Presiden.

"Ini pun membikin MKMK itu tidak bakal efektif. Karena jika mau efektif jalan keluarnya bukannya menambahkan pihak-pihak nan dianggap punya andil dalam perihal alias dianggap stakeholder MK, harusnya lembaganya independen lembaga pengawas, itu udah ada studinya juga," ujarnya.

Bukan waktu nan tepat

Bivitri juga memandang momentum pengesahan RUU MK perubahan keempat ini tidak tepat. Pasalnya, saat ini Indonesia dalam posisi transisi menuju pemerintahan baru dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto.

Menurut Bivitri pemerintahan dan DPR saat ini dalam kondisi bebek lumpuh alias lame duck. Sebab, legitimasinya tidak lagi utuh lantaran sedang masa transisi pemerintahan.

Oleh karena itu, Bivitri beranggapan tidak semestinya ada peraturan baru nan disahkan selama masa transisi ini.

"Secara etik, secara prinsip, semestinya pada masa transisi seperti sekarang ini kan presiden sebenarnya udah enggak punya legitimasi lantaran lagi masa transisi ke pemerintahan nan baru. DPR juga enggak punya legitimasi lantaran masa transisi dalam literatur itu namanya lame duck period," ujar dia.

"Harusnya dalam situasi seperti ini enggak boleh ada perubahan undang-undang nan bakal berpengaruh secara signifikan terhadap sistem ketatanegaraan," imbuhnya.

Namun, kata Bivitri, pemerintah dan DPR selama ini selalu abai terhadap prinsip dan etika. Ia menilai pemerintah bakal melakukan segala langkah untuk melakukan intervensi dan mewujudkan kepentingannya. Termasuk, dengan merevisi RUU MK.

"Nah, tapi ya itulah ya prinsip alias values hari-hari ini memang sudah tidak diperhatikan. Ditabrak semuanya untuk melakukan intervensi ugal-ugalan terhadap lembaga yudikatif oleh lembaga nan sifatnya politis," kata Bivitri.

(yla/wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional