Potensi Penyimpangan dan Alat Kepentingan Politik di Balik UU Desa

Sedang Trending 6 bulan yang lalu

Jakarta, CNN Indonesia --

Undang-undang (UU) Desa hasil revisi resmi diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam UU nan baru dengan nomor 3 tahun 2024 itu, masa kedudukan kepala desa jadi delapan tahun dan bisa dipilih paling banyak untuk dua periode.

Selain itu, juga ada perubahan soal sumber-sumber pendapatan desa. Jika sebelumnya alokasi biaya desa minimal sebesar 10 persen dari biaya perimbangan nan diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi biaya alokasi unik (DAK), kinijadi paling sedikit 10 persen dari biaya alokasi umum (DAU) dan biaya bagi hasil nan diterima kabupaten/kota dalam APBD.

Panjang masa kedudukan ini dan perubahan alokasi biaya desa dinilai berpotensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Masyarakat pun perlu melakukan pengawasan ketat agar tak ada penyelewengan nan dilakukan kepala desa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau tidak terawasi oleh masyarakat dengan baik, ini bisa menimbulkan praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme," kata Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro saat diwawancara, Kamis (2/5).

Menurut Agung, selama ini KPK, BPK, hingga Kementerian Keuangan kerap menemukan kasus penyelewengan biaya desa untuk kepentingan pribadi alias perihal lain nan tidak mempunyai nilai urgensi.

Selain itu, lanjut dia, pengesahan UU Desa sarat kepentingan politik. Apalagi, UU Desa disahkan pada momen jelang Pilkada 2024.

Kepala desa punya pedoman massa nan kuat, sehingga sangat mungkin digunakan untuk kepentingan politik praktis.

"Saya melihatnya demikian ya, titik tekannya ke politik lebih kuat. Secara elektoral, suka alias tidak, masa kedudukan kepala desa nan 16 tahun ini memang punya potensi untuk diarahkan kepada kepentingan politik praktis dalam konteks pemilu, sehingga memang bakal menguntungkan kekuatan-kekuatan politik besar," ucapnya.

Bertalian dengan itu, Agung menilai UU Desa ini juga jadi balas budi politik Jokowi atas kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Di UU Desa nan baru, kepala desa bakal dapat duit pensiun, tunjangan agunan sosial kesehatan, dan ketenagakerjaan

"Bisa dianggap balas budi penguasa terhadap para kepala lantaran sudah sukses dalam tanda petik memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, bisa dibaca demikian juga," kata dia.

Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio juga menyebut UU Desa disahkan demi kepentingan politik, bukan untuk kepentingan masyarakat desa.

Agus menilai pengesahan UU Desa merupakan corak balas budi atas terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

"Patut diduga begitu (balas budi politik). Saya tidak bisa memastikan, lantaran tidak ada bukti, tetapi patut diduga begitu," kata dia.

Agus pun menyoroti masa kedudukan kepala desa nan mencapai 16 tahun dalam dua periode. Padahal, kedudukan publik lainnya, seperti kepala wilayah hingga presiden, maksimal hanya 10 tahun. Ia beranggapan perubahan panjang masa kedudukan ini merusak demokrasi.

"Kenapa 16 tahun? Kenapa enggak 10 tahun? Kenapa enggak 15 tahun nan kelipatan lima? Kita enggak tahu. Jadi ini memang personil majelis itu merusak kerakyatan republik kita nan sudah susah payah kita bangun pasca orde baru," ujarnya.

(dis/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional