Jakarta, CNN Indonesia --
Analisis Hukum Senior di Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK, Azamul Fahdly berambisi DPR tak ambil pusing atas penamaan RUU Perampasan Aset nan kerap dianggap keliru dan tidak sesuai dengan tujuannya.
Azamul menjelaskan penamaan kata 'perampasan' dalam RUU itu disebabkan keterbatasan bahasa norma di Indonesia nan mengatur tentang tindakan mengamankan aset hasil tindak pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan Indonesia belum mempunyai persamaan kata dalam terminologi norma nan biasa digunakan di Amerika Serikat untuk menindak aset hasil tindak pidana.
"Karena kita keterbatasan terminologi kita ini bahasa Indonesianya ini terbatas, kita enggak bisa membedakan tadi ada confiscation, ada forfeiture, ada seizure," kata Azamul dalam obrolan daring "RUU Perampasan Aset Mengapa Harus Tetap Disahkan?", Rabu (20/11).
"Misalnya ya jika seizure mungkin kalo di KUHAP kita terjemahkan dengan penyitaan," sambungnya.
Alih-alih meributkan penamaan RUU Perampasan Aset, Azamul berambisi DPR memandang pentingnya keberadaan patokan tersebut untuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia pun menilai hal-hal nan ditakutkan oleh DPR dalam RUU Perampasan Aset seyogianya bisa dihindarkan dengan terus mengawal praktik penegakan patokan tersebut.
"Intinya lebih rawan lagi, lebih menakutkan lagi jika kita enggak punya RUU Perampasan Aset. Justru itu nan lebih menakutkan lagi," jelas dia.
"Kalau misalnya kita sudah punya kelak tinggal gimana mekanismenya nan kita jaga, kita kawal, alias kita sebut sebagai safeguard-nya itu banyak sebenarnya nan bisa kita buat," sambungnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia menyoroti redaksional 'Perampasan' dalam RUU Perampasan Aset nan dinilai mempunyai artian nan keliru dan tidak sesuai Konvensi Anti Korupsi Internasional (UNCAC).
"Makanya waktu itu saya bilang, jikalau misalnya disetujui substansi undang-undang itu adalah bagian dari pemberantasan korupsi, kenapa enggak namanya kita buat pemulihan alias pengelolaan aset," kata Doli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11).
Saat ini RUU Perampasan Aset tidak masuk kedalam RUU prolegnas prioritas DPR Tahun 2025. Aturan itu hanya menjadi RUU prolegnas jangka menengah.
RUU Perampasan Aset ini mandek selama lebih dari satu dasawarsa setelah naskah RUU tersebut pertama kali disusun pada 2008.
Pada 2023 RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023. Presiden ke-7 RI Joko Widodo juga telah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset.
Surpres itu bernomor R 22-Pres-05-2023 dikirim tanggal 4 Mei 2023 untuk dibahas berbareng DPR. Namun, setahun berlalu RUU tersebut tak kunjung selesai.
(m/fra)
[Gambas:Video CNN]