TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan bakal menimbulkan tambahan biaya bagi produsen. Akibatnya, tambahan biaya nan timbul akibat penerapan PPN 12 persen tersebut bakal dibebankan kepada konsumen.
"Tambahan biaya ini juga perlu tambahan arus kas alias cashflow, padahal posisi saat ini cashflow-nya ketat," kata Redma saat dihubungi Tempo, Ahad, 24 November 2024.
Redma menjelaskan, pengusaha sebelumnya kudu bayar PPN sebesar 11 persen untuk membeli bahan baku. Pengeluaran ini bakal bertambah seiring kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Setelah bahan baku diolah, produsen menjual hasil produksinya kepada konsumen.
"Yang bayar pajaknya (setelah peralatan dijual) kan konsumen 12 persen, tapi kami setorkan ke pemerintah selisihnya (keluaran dan masukan)," kata Redma.
Ihwal pengaruh kenaikan PPN terhada konsumen, Redma mengaku telah banyak berbincang dengan Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI). Ia menyimpulkan, beban tambahan ini memang ujungnya bakal dibebankan pada konsumen akhir.
Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, mengatakan, ketika PPN dikenakan 11 persen, pajak nan dibebankan kepada konsumen akhir sebenarnya mencapai 19,8 persen. Pasalnya, dalam rantai pasok tekstil nan panjang, setiap pembayaran pajak oleh setiap subsektor bakal dibebankan kepada nilai barang.
"Jika PPN dinaikkan menjadi 12 persen, beban konsumen akhir menjadi 21,6 persen dari nilai peralatan sebenarnya," ucap Ardiman melalui keterangan tertulis, Ahad, 24 November 2024.
Di tengah kondisi daya beli masyarakat nan sedang menurun, Ardiman cemas kenaikan PPN ini bakal berkapak kepada turunnya konsumsi tekstil masyarakat.
Jika perihal itu terjadi, dia menilai tujuan pemerintah mendongkrak pemasukan negara justru menjadi kontraproduktif. Sebab, turunnya konsumsi tekstil masyarakat bakal mengakibatkan turunnya penjualan industri tekstil.
Alih-alih meningkatkan PPN, Ardiman mengatakan pemerintah lebih baik memberantas impor terlarangan untuk meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan info selisih perdagangan tekstil dan produk tesktil (TPT) di trade map 5 tahun terakhir, dia memperkirakan penerimaan negara lenyap Rp 46 triliun.
Nilai peralatan nan masuk tanpa bayar bea masuk, PPN, dan Pajak Penghasilan (PPh) mencapai US$ 7,2 miliar alias sekitar Rp 106 triliun. “Asal impor terlarangan diberantas, penerimaan negara dari TPT bakal naik Rp 9 triliun per tahun, tanpa kudu meningkatkan PPN,” kata Ardiman.