RI Berpotensi Impor Beras 5,17 Juta Ton, Pengamat Khawatir Ketahanan Pangan Nasional

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, mengkhawatirkan ketahanan pangan nasional tahun ini. Dia berkaca pada proyeksi neraca beras nasional 2024 nan dimutakhirkan pada Mei lalu, Indonesia berpotensi bakal melakukan impor beras hingga 5,17 juta ton sepanjang tahun ini. 

"Merupakan bukti nyata bahwa ketahanan pangan nasional berada di posisi nan mengkhawatirkan," kata Yusuf dalam keterangan resminya pada Selasa, 30 Juli 2024.

Realisasi impor beras pada Januari hingga April 2024 tercatat telah mencapai 1,77 juta ton. Sementara rencana impor pada Mei hingga Desember 2024 sebanyak 3,40 juta ton. Menurut Yusuf, kebenaran ini mengukuhkan kecenderungan mengkhawatirkan lantaran impor beras pada 2023 lampau hanya 3,06 juta ton.

Bila realisasinya sesuai dengan proyeksi, maka impor beras tahun ini bakal menjadi rekor impor beras terbesar, melampaui impor beras tahun 1999 nan mencapai 4,75 juta ton. "Angka ini juga bakal menjadikan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina nan rata-rata mengimpor beras sekitar 4 juta ton setiap tahunnya,” ujarnya. 

Dengan menjadi salah satu importir pangan terbesar di dunia, kata Yusuf, Indonesia bakal selalu terpapar akibat impor dan politik proteksionisme pangan global. Dia menyebut, ketergantungan pada pasar pangan dunia bakal memunculkan kerentanan tinggi pada ketahanan pangan nasional. Utamanya dari ketidakpastian pasokan dan nilai pangan internasional. 

Pada 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras. Sebanyak 93 persen impor berasal dari tiga negara saja, ialah Thailand 45,1 persen, Vietnam 37,5 persen, dan Pakistan 10,1 persen. Yusuf menekankan, situasi ini menunjukkan sungguh rentannya ketahanan pangan Indonesia terhadap perubahan nilai dan pasokan nan berjuntai dari beberapa negara saja.

Menurut dia, proyeksi impor besar-besaran ini terjadi akibat jatuhnya produksi beras nasional tahun ini secara signifikan. Produksi beras pada Januari hingga Juli 2024 diperkirakan ambruk hingga 13,3 persen alias setara 2,47 juta ton, dibandingkan periode nan sama tahun lalu. “Jatuhnya produksi beras nasional di semester pertama 2024 ini menguatkan kecenderungan penurunan kapabilitas produksi beras nasional dalam enam tahun terakhir,” kata Yusuf. 

Yusuf menjelaskan, sejak 2018, produksi beras nasional condong menurun secara persisten. Pada 2018, produksi beras nasional tetap mencapai 33,9 juta ton, namun kemudian turun menjadi hanya 30,9 juta ton pada 2023.

Dia menambahkan, jatuhnya produksi beras nasional banyak diklaim lantaran aspek suasana akibat el nino nan bermulai sejak Juni 2023 dan bersambung hingga pertengahan 2024. El nino diklaim menciptakan kekeringan di sebagian besar wilayah sentra padi. Namun, dia menilai tendensi kenaikan nilai beras nan telah terjadi sejak 2022 membantah klaim bahwa kenaikan nilai beras semata lantaran faktor el nino. “Kenaikan nilai beras nan persisten dalam tiga tahun terakhir ini memperlihatkan adanya masalah struktural nan serius." 

Di awal 2022, rata-rata nilai beras tercatat hanya di kisaran Rp11.750 per kg, kemudian awal 2023 merangkak naik di kisaran Rp12.650 per kg. Di awal 2024, nilai beras mencapai Rp14.550 per kg dan sekarang di medio 2024 telah mencapai kisaran Rp15.350 per kg.

Iklan

Menurut Yusuf, tingginya nilai beras saat ini memang sebagian didorong oleh turunnya pasokan pasca el nino sejak Juni 2023 hingga Juni 2024. Namun, masalah dalam kapabilitas produksi beras nasional tidak hanya mengenai suasana dan cuaca nan tidak berkawan saja. Lebih daripada itu, juga lantaran minimnya kesiapan pupuk, jumlah petani nan semakin menurun dan menua, hingga alih kegunaan sawah nan semakin tidak terkendali.

“Faktor paling mendasar dalam penurunan produksi beras nasional nan menyebabkan impor terbesar di tahun ini adalah alih kegunaan lahan sawah nan terus terjadi secara masif, termasuk nan disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN), terutama di Jawa,” tutur Yusuf.

Fakta alih kegunaan lahan sawah nan terus terjadi dibuktikan oleh luas lahan panen padi nasional nan konsisten menurun dalam enam tahun terakhir. Pada tahun 2018, kata Yusuf luas lahan panen padi di Indonesia mencapai 11,38 juta hektare. Namun, pada tahun 2023, luas tersebut hanya tersisa 10,21 juta hektare alias turun sebesar 10,28 persen selama enam tahun terakhir. 

"Penurunan luas lahan panen padi nan konsisten ini mengindikasikan adanya sawah nan secara permanen tidak lagi menghasilkan panen lantaran mengalami alih kegunaan lahan,” kata dia.

Selain itu, indikasi alih kegunaan lahan sawah nan masif terlihat pula pada penetapan lahan sawah nan dilindungi (LSD) di delapan provinsi sentra beras. Mulai dari Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, hingga Nusa Tenggara Barat. 

Di delapan provinsi sentra beras ini, kata Yusuf luas lahan baku sawah (LBS) tahun 2019 sekitar 3,97 juta hektare. Namun, pada 2021 hanya 3,84 juta hektare sawah nan dapat ditetapkan menjadi LSD. Yusuf menduga, sekitar 136 ribu hektare sawah di delapan provinsi tersebut telah mengalami konversi sepanjang tahun 2019-2021.

Dia menekankan, perlindungan terhadap lahan sawah nan tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan nan tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan masa depan. Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate sebagai kompensasi atas hilangnya sawah di Jawa, menurut dia adalah kebijakan nan salah arah, mahal dan berisiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan nasional. 

Bagi Yusuf, mempertahankan sawah dan mendorong upaya pertanian rakyat berbasis family di Jawa adalah krusial untuk memastikan ketahanan pangan nasional di masa depan. "Bukan dengan food estate nan mahal dan berisiko tinggi gagal," tuturnya.

Pilihan editor: Dilaporkan ke KPK soal Dugaan Mark Up, Bulog Klaim Tender Beras Impor Berlangsung Terbuka

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis