Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah keterangan saksi dan mahir menjelaskan akibat dari dugaan kecurangan dalam proyek tol Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated alias Tol Mohammed bin Zayed (MBZ).
Ahli beton dan konstruksi, FX Supartono mengungkap soal temuan penurunan mutu beton Tol MBZ nan ditemukan pihaknya saat minta jasa oleh BPK. Dia membeberkan hasil temuan pengetesan beton pada Tol MBZ. Dia mengatakan terdapat penurunan mutu beton nan semestinya 35 MPa.
"Nah ini hasilnya, rupanya nyaris katakanlah 90 persen dari jumlah barang uji nan diambil itu tidak mencapai mutu daripada beton. Tapi nan lebih merepotkan adalah nan paling rendahnya itu bisa sampai hanya 20-an MPa dari nan semestinya 35 MPa," ungkap Supartono nan dihadirkan sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa (21/5) seperti dikutip dari detik.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan penurunan mutu beton Tol MBZ bervariasi. Dia mengatakan ada nan turun dari 35 MPa menjadi 20 MPa, 25 MPa dan 30 MPa.
"Ada kaitannya dengan penurunan mutu beton?" tanya jaksa.
"Karena mutu betonnya kan dihitung dengan kekuatan 35 MPa, kenyataannya kan turun, Pak, ada nan 30, ada nan 25, ada nan 20 juga. Jadi jika itu kita konversikan lantaran tadi sudah dikatakan bahwa ini adalah struktur komposit, jadi kerja sama antara baja dan beton itu masing-masing memberikan sumbangan dan itu mengakibatkan kekakuan (beton)-nya menurun," jawab Supartono.
Berpengaruh pada kekakuan dan keawetan tol MBZ
Selain itu, Supartono mengatakan perubahan spesifikasi kualitas material pembangunan Tol MBZ berpengaruh pada kekakuan dan usia keawetan jalan.
Supartono mengatakan penurunan kualitas material itu tak bakal membikin jalan layang tersebut roboh. Selain itu, katanya, Tol MBZ tetap memenuhi standar meski pengguna jalan mengeluh tak nyaman.
"Saya katakan memang bahwa jika ditinjau dari kekuatan tampaknya kekuatan ini tidak bakal bermasalah tidak bakal roboh. Namun secara jangka panjang lantaran kekakuannya berkurang, getaran-getaran itu membesar bisa mempengaruhi pada keawetan jangka panjang jembatan," kata FX Supartono dalam sidang.
Jaksa lampau mendalami pernyataan Supartono nan menyakini perubahan spesifikasi kualitas material Tol MBZ tak bakal membikin roboh. Dia mengatakan perubahan spesifikasi itu berakibat pada kekakuan dan getaran nan dikeluhkan masyarakat.
"Dalam kalkulasi nan kami lakukan, memang dengan perencanaan itu selisihnya hanya separuh dari 10 persen. Itu kan 5,6 persen, jadi tidak mungkin kita nan mempunyai aspek keamanan sampai 1,6 itu [ketika] terpengaruh 5 persen itu bakal roboh. Itu rasanya tidak mungkin terjadi," katanya.
"Tapi dari segi kekakuan tadi sudah banyak perihal nan terbukti dari pengetesan lapangan maupun dari kalkulasi itu kekakuannya bermasalah. Begitu kekakuannya bermasalah getarannya bakal membesar. Itu juga nan dikeluhkan oleh pengguna, masyarakat, pengguna," kata Supartono.
Ke depan, Supartono mengatakan perlu dilakukan pengkajian unik jika mau mengetahui akibat terhadap usia Tol MBZ terhadap perubahan spesifikasi kualitas material tersebut. Dia mengatakan getaran nan dihasilkan juga berjuntai pada jenis kendaraan.
"Begitu getarannya membesar, amplitudonya membesar. Itu bisa mengakibatkan fatigue. Fatigue itu kelelahan daripada struktur. Karena diayun-ayun terus, dan itu membikin umur dari struktur berkurang. Tapi kapan berkurangnya sampai kapan, kapan umur layan dari struktur itu kudu dihitung unik lagi. Dan kami tidak menghitung tapi kami menduga bahwa itu bisa mengurangi umur daripada struktur jika dibiarkan begitu terus," imbuh Supartono.
Soroti titik pengetesan diperkuat sebelum diuji
Dalam sidang nan sama, Supartono yang datang sebagai saksi untuk kasus korupsi proyek tol MBZ tahun 2016-2017 itu mengaku heran mendapatkan kebenaran ada penguatan di titik uji sebelum pengetesan beban. Padahal, sambungnya, perihal itu semestinya tak boleh dilakukan.
Supartono mengatakan beton di letak pengetesan beban sempat diperkuat itu berasas laporan dari pengendalian mutu independen Tol MBZ.
"Ada lagi nan saya agak heran itu membaca laporan dari pengendalian mutu independen. Nah di sini disampaikan bahwa katanya untuk melakukan pengetesan beban itu rupanya lokasi-lokasi nan bakal diuji itu sudah diperkuat terlebih dahulu," kata Supartono dalam persidangan.
Menurutnya, penguatan letak tak boleh dilakukan sebelum dilakukan pengujian.
"Nah, ini juga saya bertanya-tanya, apakah iya betul begitu. Kalau memang betul begitu, tentu saja tidak boleh (lokasi) nan bakal diuji itu diperkuat terlebih dahulu," kata Supartono.
Menurutnya bisa saja temuan tak memenuhi syarat di proyek Tol MBZ ternyata lebih besar jika belum penguatan di letak uji beban dilakukan.
"Kalau memang ini terjadi, kondisi nan tadi saya sebutkan, tidak memenuhi syarat, itu bisa mungkin lebih besar lagi tidak memenuhi syaratnya," ujarnya.
Untuk diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggunakan jasa PT Tridi Membran Utama, untuk melakukan pemeriksaan bentuk nan berfokus pada kualitas struktur atas Tol MBZ. Supartono yang dihadirkan sebagai saksi oleh jaksa merupakan kepala utama di perusahaan tersebut.
Dalam kasus ini, mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC) periode 2016-2020, Djoko Dwijono, didakwa merugikan finansial negara senilai Rp 510 miliar, dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Tol Layang MBZ tahun 2016-2017. Jaksa mengatakan kasus korupsi itu dilakukan secara bersama-sama.
Jaksa mengatakan kasus korupsi tersebut dilakukan Djoko bersama-sama dengan Ketua Panitia Lelang di JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama sejak 2008, dan kuasa KSO Bukaka PT KS Sofiah Balfas, serta Tony Budianto Sihite selaku team leader konsultan perencana PT LAPI Ganesatama Consulting dan Pemilik PT Delta Global Struktur. Masing-masing dilakukan penuntutan di berkas terpisah.
"Telah melakukan alias turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri alias orang lain alias suatu korporasi, nan merugikan finansial negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 (Rp 510 miliar)," ujar jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 14 Maret lalu.
Baca buletin lengkapnya di sini.