TEMPO.CO, Jakarta - Sejak dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap alias PLTU Celukan Bawang, Kecamatan Gerogak, Buleleng, Bali, keberadaan pembangkit listrik ini telah mengundang beragam kontroversi.
Sejak awal di bangun, proses pembebasan lahan untuk menyokong kontruksi PLTU Celukan Bawang disebut telah bermasalah, selain itu pembangkit listrik ini juga dinilai mencemari lingkungan, hingga menyoal kesejahteraan pekerjannya. Berikut deretan kontroversi PLTU Celukan Bawang nan dihimpun dari beragam sumber.
Tidak Jelas Penyaluran Pesangon Buruh
Berakhirnya kontrak kerja antara PT China Huadian Corporation (CHD) dan PT General Energi Bali (GEB), selaku pengelola PLTU Celukan Bawang, otomatis memutus juga perjanjian dengan para pekerja di bawah naungan PT Victory. Sehingga dalam masa transisi ini kewenangan PT Victory sebagai pemasok tenaga kerja bakal dialihkan ke PT Garda Arta Bumindo (GAB) dan PT Garda Satya Perkasa (GSP).
Menyusul berakhirnya perjanjian tersebut, pada 12 dan 14 September 2024, PT GEB mengeluarkan pengumuman terbuka kepada para pekerja nan menginstruksikan para pekerja PT Victory untuk membikin surat pengunduran diri, dan membikin surat lamaran baru nan ditujukan kepada PT GAB dan PT GSP selambat-lambatnya diserahkan pada 17 September 2024. Namun, dengan pengajuan surat pengunduran diri ini, artinya pekerja dengan sukarela mengundurkan diri dari PT Victory dan tidak mendapatkan pesangon nan ditaksir total mencapai Rp12,4 miliar.
Tongkang Batubara Karam di Laut
Dikutip dari mongabai, kapal tongkang pembawa batubara karam di perairan PLTU Celukan Bawang pada 14 Agustus 2022, hingga akhirnya pada 27 Agustus, kapal miring dan sebagian muatan batubaranya masuk laut. Tongkang itu datang dari Sangatta, Kalimantan Timur milik KPC menuju perairan Bali utara letak PLTU Celukan Bawang. Sebelumnya tongkang tersebut dihantam angin besar di Kepulauan Kangean, Madura, dan kondisinya miring. Karena sudah dekat perjalanan dilanjutkan ke Bali.
Berhari-hari dibiarkan, tumpahan itu membikin masyarakat takut bakal terjadinya pencemaran terhadap ekosistem laut, utamanya bagi para nelayan. “Nelayan bakal susah jual ikan, takut unsur nan terkandung di batubara seperti mengandung merkuri,” kata Supriyadi, Kelompok Nelayan Bakti Kasgoro di Celukan Bawang.
Di sisi lain General Affair PT General Energy Bali, Indriati Tanu Tanto dikonfirmasi pada 31 Agustus 2022 mengatakan, kapal tongkang miring dan sengaja dikandaskan lantaran tidak merapat ke jetty untuk menurunkan 9700 ton batubara nan dibawanya dari PT Kaltim Prima Coal, Kalimantan karena tetap ada tongkang lain sandar di jetty. “Tidak bisa sigap kudu tunggu tongkang (di jetty) kosong,” sebutnya ditanya waktu penanganan.
Pembangunan PLTU Tahap II
Iklan
Pada 28 April 2017, Gubernur Bali menandatangani keputusan pemberian izin lingkungan untuk ekspansi PLTU Celukan Bawang untuk menambah dua unit pembangkit tambahan. Eskpansi PLTU Celukan Bawang II direncanakan mempunyai kapabilitas 2x330 Megawatt alias nyaris dua kali lipat dari PLTU Celukan Bawang I dengan daya nan dihasilkan 3 x 142 Megawatt. Namun menurut pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Bali, Dewa Adnyana, izin tersebut terbit tanpa keterlibatan penduduk Celukan Bawang.
Adapun Greenpeace menilai dengan kapabilitas sebesar itu, maka PLTU itu bakal menghasilkan udara lebih banyak nan merugikan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya secara signifikan. Termasuk berpotensi merusak pariwisata Buleleng karena berakibat langsung pada ekosistem Taman Nasional Bali Barat (TNBB), kondisi koral, serta kehidupan lumba-lumba nan ada di Pantai Lovina.
"Penerbitan izin bertentangan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," ujar Dewa kepada Tempo, Rabu 2 Mei 2018.
Pembebasan Lahan Bermasalah
Berdasarkan laporan Greenpeace berjudul ‘Bagaimana PLTU Celukan Bawang meminggirkan dan meracuni masyarakat Bali utara’ menyebutkan PLTU Celukan Bawang nan selesai dan resmi beraksi sejak 2015 ini dalam proses pembangunannya dibelit persoalan tukar rugi lahan. Adapun nominal tukar rugi nan diberikan dinilai terlalu kecil.
“Tidak cukup untuk bangun rumah baru. Ini saja saya ngutang. Saya dapat tukar rugi Rp 76 juta. Saya bangun rumah baru lenyap Rp 150 juta,” kata Sadli penduduk Celukan Bawang.
Lebih lanjut, mantan Kepala Desa Celukan Bawang periode 2002-2013, Muhajir menyebut, pembebasan lahan untuk PLTU tersebut memang bermasalah. Pembelian lahan penduduk desa dilakukan melalui makelar tanah sejak tahun 2002. Harga tanah nan dibeli tetap sangat murah. Isu nan beredar saat itu, di atas lahan tersebut bakal dibangun pabrik kecap. “Warga merasa dibohongi,” katanya.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | ROBBY IRFANY | ROFIQI HASAN
Pilihan Editor: Polemik Pesangon 254 Karyawan PLTU Celukan Bawang, Manajemen Angkat Bicara