TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal meningkatkan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai bertindak pada 1 April 2022, dan PPN 12 persen bertindak paling lambat pada 1 Januari 2025. Pemberlakuan kenaikan PPN 12 persen bakal berakibat pada ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal merekomendasikan penundaan terhadap kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, guna mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi nan lebih tinggi.
"Ditunda mestinya, jadi it's not a good timing. Itu jika kita berbincang masalah mengatasi kesenjangan ekonomi pada saat sekarang, dan juga sasaran pertumbuhan ekonomi, lantaran sasaran pertumbuhan ekonominya mau lebih tinggi kan," ujar Faisal di Jakarta, Selasa.
Faisal menjelaskan produk peralatan jadi seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, furnitur bakal mengalami penurunan pembelian saat dikenakan PPN 12 persen. Barang-barang tersebut, kata Faisal, lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat dari kelas menengah, nan total nilai konsumsinya mencapai 84 persen.
Ekonom Center of Economics and Law Studies, Nailul Huda mengatakan penerapan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan nan dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
Dia berambisi pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah. “Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) bakal meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menegaskan bahwa Apindo dalam posisi kontra terhadap wacana kenaikan PPN. Shinta menuturkan penolakan tersebut berdasarkan kekhawatiran penurunan konsumsi masyarakat.
“Implementasi kebijakan PPN pada saat seperti ini justru berisiko menekan konsumsi domestik,” kata Shinta seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 22 November 2024.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan penolakan terhadap rencana pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN menjadi 12 persen. YLKI menilai besaran PPN 12 persen nan dicanangkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hanya bakal menambah berat beban konsumen. Menurut YLKI, kebijakan ini hanya bakal memberi beban tambahan bagi masyarakat nan tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
“Kenaikan PPN nan sudah terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, tetap dirasakan berat oleh masyarakat. Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, perihal ini bakal semakin memperburuk daya beli konsumen,” bunyi keterangan tertulis YLKI.
Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengkhawatirkan pengaruh domino nan ditimbulkan akibat kenaikan tarif PPN 12 persen. Meskipun kenaikan tarif PPN hanya satu persen, katanya, perihal tersebut bakal berakibat terhadap kesejahteraan rakyat.
"Sebenarnya sudah sejak lama saya concern terhadap rencana pemerintah mengenai kenaikan PPN menjadi 12 persen ini. Sejak periode DPR lalu, saya mendorong agar rencana tersebut dikaji ulang," kata Cucun di Jakarta, Selasa, dilansir dari Antara.
Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan kenaikan tarif PPN. Khususnya di tengah kondisi ekonomi saat ini dan adanya penurunan daya beli.
Masih ada waktu untuk membatalkan sebelum kenaikan tarif pajak resmi bertindak pada Januari 2025. “Ini kondisinya urgen mendesak, lantaran menakut-nakuti perekonomian, keluarkan saja Perpu merevisi, mengeluarkan kenaikan tarif PPN 12 persen di 2025,” ujarnya.
ANANDA RIDHO SULISTYA | ILONA ESTHERINA | VENDRO IMMANUEL G | ANTARA