TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan peningkatan produktivitas menjadi langkah nan ditempuh Indonesia dalam upaya keluar dari perangkap negara pendapatan menengah alias middle income trap.
Menurutnya, ini merupakan upaya berkepanjangan nan telah dimulai sejak era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto hingga era Reformasi.
“Kata kuncinya adalah selalu produktivitas. Bagaimana investasi dan aspek produksi dalam negeri dapat menciptakan output nan lebih produktif dan lebih berkualitas,” kata Sri Mulyani dalam Seminar ASEAN Global Development and the Middle Income Trap and Growth Academy ASEAN, Selasa, 24 Septe,mber 2024.
Menkeu menekankan dengan bingkisan demografi berupa populasi nan besar dan relatif muda, Indonesia berpotensi memaksimalkan produktivitas melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Kedua aspek ini merupakan pilar utama untuk meningkatkan nilai tambah seluruh aspek produksi.
Di antara upaya nan dilakukan adalah menyediakan danasiwa melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta meningkatkan penyediaan jasa dan alat-alat kesehatan.
Selain peningkatan kualitas sumber daya manusia, perihal lain nan menjadi konsentrasi pemerintah adalah pembangunan prasarana berkualitas.
“Indonesia sudah berinvestasi. Selama masa kedudukan Presiden Jokowi, salah satu prioritas nasional nan sangat krusial adalah membangun infrastruktur, seperti energi, rel kereta api, jalan raya, bandara, pelabuhan, pelabuhan laut, telekomunikasi, dan nan sangat krusial teknologi digital,” katanya.
Apa Itu Middle Income Trap
Istilah ini diperkenalkan oleh Bank Dunia pada 2007 untuk mendefinisikan negara berpendapatan menengah dengan produk nasional bruto per kapita nan tetap berada di antara $1.000 hingga $12.000 dan kandas meningkatkannya.
Dalam ekonomi pembangunan, perangkap pendapatan menengah adalah situasi di mana suatu negara telah berkembang hingga PDB per kapita mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi negara tersebut tidak berkembang lebih jauh dan tidak mencapai status negara berpendapatan tinggi.
Menurut konsep tersebut, negara nan terjebak dalam perangkap pendapatan menengah telah kehilangan daya saingnya dalam ekspor barang-barang manufaktur lantaran bayaran nan meningkat, tetapi tidak bisa bersaing dengan negara-negara nan lebih maju di pasar berbobot tambah tinggi.
Iklan
Akibatnya, negara-negara nan baru masuk industrialisasi seperti Afrika Selatan dan Brasil tidak pernah meninggalkan apa nan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai 'rentang pendapatan menengah' selama beberapa dasawarsa lantaran produk nasional bruto per kapita mereka tetap berada di antara $1.000 hingga $12.000 dengan nilai konstan.
Mereka menderita investasi nan rendah, pertumbuhan lambat di sektor sekunder ekonomi, diversifikasi industri nan terbatas, dan kondisi pasar tenaga kerja nan buruk, serta populasi nan semakin menua.
Menurut The Economist berasas info dari Bank Dunia, dari tahun 1960 hingga 2022, hanya 23 negara nan dikatakan telah lolos dari perangkap pendapatan menengah, terutama Empat Macan Asia ialah Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, Seychelles di Afrika, Polandia di Eropa Tengah, serta Arab Saudi di Timur Tengah. Diversifikasi ekspor juga dianggap krusial untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah.
Studi lain menyebut Cina, Portugal, Yunani, Puerto Rico dan Israel telah sukses melewati jebakan negara berpenghasilan menengah ini.
Bank Dunia dalam laporan berjudul "The World Development Report 2024: The Middle Income Trap" disebutkan bahwa 130 negara terjebak sebagai negara berpenghasilan kelas menengah. Indonesia dengan pendapaan perkapita 4.580 dolar AS pada 2023, perlu 70 tahun untuk bisa mencapai pendapatan per kapita setara negara maju.
Itu pun hanya seperempat dari pendapatan per kapita AS nan saat ini berada di kisaran 80.300 dolar AS.
Namun Menkeu Sri Mulyani optimistis, asalkan dalam perjalanan menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia terus belajar gimana meningkatkan unsur pembangunan.
“Sehingga kita bakal bisa meningkatkan lebih banyak lagi keahlian pertumbuhan, kualitas, pembuatan lapangan kerja, baik dalam perihal kualitas, inklusivitas, dan keahlian kita untuk menjaga bumi dengan proses pembangunan nan lebih hijau dan rendah karbon,” ujarnya.
ANTARA | WORLD BANK