Jakarta, CNN Indonesia --
Juru parkir kerap dipandang sebelah mata, namun keberadaannya juga dibutuhkan. Mereka bekerja tanpa perlindungan.
Taufik Maulana sibuk mengatur kendaraan nan lampau lalang masuk ke parkiran sebuah minimarket di Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Kamis (2/5). Selama empat tahun dia menghabiskan 8 jam setiap hari untuk menjaga kendaraan pengunjung.
Matahari siang itu lebih terik dari biasanya. Sesekali dia berlindung di bawah payung dan duduk di bangku plastik nan berada di pojok lahan 'kekuasaannya'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasca-pemutusan kontraknya dengan Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) 4 tahun silam, bapak dua anak itu akhirnya mengikuti saran temannya untuk menjadi ahli parkir.
Awalnya, Taufik beriktikad bahwa pekerjaan ini hanya untuk mengisi waktu luang. Namun laki-laki 34 tahun itu lama kelamaan merasa nyaman. Dia sekarang menjadikan ahli parkir sebagai pekerjaan utamanya. Ia juga melayani jasa ojek panggilan untuk tambahan penghasilannya.
Dia mengatakan penghasilan nan didapatkan per hari tak pasti, tergantung jumlah kendaraan nan parkir. Namun, lantaran lokasinya nan tak jauh dari salah satu venue acara-acara besar di Indonesia, terkadang dirinya juga kecipratan untung lantaran visitor nan parkir bertambah banyak.
"Kalau rame tuh paling banyak saya pernah dapet di sini Rp250 ribu-Rp300 ribu. Dari pagi, sampai jam 3 sore. Nanti jam 3 sore ada lagi, jam malam gitu. Kalau kayak gitu tuh, biasanya jika lagi ada event di Indonesia Convention Center (ICE). Iya, apa [konser] Korea-korea gitu lah," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (2/5).
Pekerjaan Taufik seringkali dipandang sebelah mata. Ini membuatnya kerap diremehkan dan tak jarang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
Ia pernah dimarahi apalagi dicaci pengunjung. Taufik juga pernah menangani kasus kecelakaan ketika parkir, seperti kendaraan lecet, tabrakan, pemecahan kaca mobil, hingga mendapat kekerasan bentuk dari segerombolan anak muda nan menantang ketika dimintai biaya parkir.
"Saya tegur dong, 'Mas, mas, minta maaf temannya nan dua belum bayar'. 'Kalau saya enggak mau bayar gimana? Kamu mau apa?' Ya enggak mau apa-apa, tapi sekiranya ngomong, 'Sorry mas, saya enggak ada duit receh.' Kita elastis kok," papar Taufik.
"Turun dua orang dari belakangnya itu, satu megangin saya, satu langsung mukul dada saya ini. Nah, kan di sini kita orang kan ada pengurus dari kepolisian juga, jika ada apa-apa, telepon langsung," lanjutnya.
Taufik juga sering menangani kelalaian pengendara nan tanpa sadar meninggalkan kunci motor alias barang-barang berbobot lainnya.
Ia mengatakan hal-hal sekecil itu mungkin dianggap remeh, namun jika terjadi maka orang nan pertama dicari adalah ahli parkir.
"Kadang-kadang kan masuk, asal masuk aja. Kunci ditinggal, alias kunci lupa diambil, tahu-tahu ada orang nan mau ambil motor. Kayak gitu kan kita enggak tahu. Makanya kami (jaga) di sini," katanya.
Taufik selalu berpatokan bahwa pekerjaannya halal, demi menghidupi keluarganya, sama seperti pekerja lainnya. Ada timbal kembali nan diberikan, ialah dia menjaga kendaraan, dan visitor tenang ketika memarkir kendaraannya.
Ia selalu berupaya menjalankan tugasnya dengan baik, dan berambisi masyarakat dapat saling menghargai pekerjaannya tersebut.
"Kita orang ini dianggapnya sepele, kelihatannya gampang. Tapi jika kalian ngejalani, belum tentu bisa. Kalau lagi enggak ada hambatan kayak gini, dapet duit mah nyantai. Anak udah nyambut di rumah, minta jajan. Tapi jika ada, risikonya di jalan kita enggak tahu. Karena kita tukang parkir di sini, kita nan bertanggung jawab," tutupnya.
Jadi dilema
Di tempat nan sama, para visitor hilir mudik memarkirkan kendaraannya di laman minimarket. Berapa di antaranya keluar dengan belanjaannya. Ada pula nan keluar dengan tangan kosong.
Gloria (21) bukan nama sebenarnya, salah satu visitor minimarket mengatakan ahli parkir memang sangat dibutuhkan pengemudi mobil seperti dirinya untuk mempermudah parkir dan menjaga kendaraannya.
Namun, dia juga merasakan dilema. Kadang ahli parkir justru tidak menjalankan tugasnya dengan baik, alias apalagi terkesan 'memalak' pengunjung.
"Kalau lu enggak bayar tukang parkir itu dia bisa marah. Diketokin [kaca mobil]. Untungnya gue selalu menyiapkan duit cash ya. Padahal pulang tinggal lurus saja, tapi kudu ngasih. Ya sudahlah ngasih aja, lah, daripada berantem," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Dirinya juga terkadang enggan bayar parkir lantaran hanya singgah sebentar, apalagi tak jadi membeli apa-apa di toko nan Ia datangi.
"Misalkan kayak supermarket gitu, lu cari barang, tapi barangnya enggak ada. Lu pasti keluar lagi dong, tapi posisinya kan udah parkir mobil. Terus kayak gue nolak gitu, 'Sorry Pak, belanjaannya enggak ada,' dia malah ngegas. 'Ya tetep, parkir tetep bayar'" kata Gloria.
Nafa (34) bukan nama sebenarnya, juga mempunyai pengalaman nan sama dengan Gloria. Beberapa kali dirinya sempat terlibat bentrok dengan ahli parkir, terutama parkir dalam format paralel di pinggir jalan.
Menurutnya, perlu kombinasi tangan dari pihak resmi nan betul-betul memberikan izin nan jelas, seperti pihak pemilik lahan alias pemerintah.
"Mungkin jika mau ada ahli parkir itu dari restorannya langsung," katanya.
Kompleksitas masyarakat urban
Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) A.B. Widyanta menjelaskan kejadian ini dapat disebut sebagai kompleksitas masyarakat urban.
Ia menyebut kejadian sosial ini juga berangkaian dengan sistem nan penuh dengan ketidakberesan. Ketidakberesan ini seperti pertemuan antara menumpuknya kendaraan pribadi di jalanan dan menumpuknya pengangguran terbuka di masyarakat perkotaan.
Di satu sisi jalanan semakin disesaki oleh kendaraan pribadi. Sementara di sisi lain, masyarakat nan tidak mempunyai pekerjaan mengais rezeki dengan memanfaatkan jasa memarkir.
"Kesempatan nan bisa dia gunakan untuk menjual jasa tenaga dia untuk mengatur parkiran-parkiran," jelas laki-laki nan kerap disapa Abe ini kepada CNNIndonesia.com.
Hal lain nan perlu diperhatikan, kata Abe, ialah keberadaan agunan mengenai kerugian konsumen akibat masalah parkir. Hingga sekarang masalah ini belum sepenuhnya terpikirkan alias diimplementasikan di Indonesia.
Sistem agunan pelayanan nan semestinya dilakukan oleh pemerintah dalam konteks masyarakat perkotaan perlu dipikirkan secara holistik.
"Sistem nan kudu kemudian menjadikan kita lebih manusiawi itu, sistem tata kelola nan baik nan transparan. Check and balances ada, tentu dengan transparansi kan begitu. Tapi juga selalu dialogis, terbuka terhadap kritikan. Jadi ketika ada kritikan seperti ini, diakomodir dong, enggak dibiarkan begitu saja, ditindaklanjuti, jangan hanya didengarkan," kata Abe.
Dalam menghadapi masalah kejadian perparkiran nan sering meresahkan masyarakat, diperlukan keterlibatan abdi negara pemerintah nan kompeten, seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pendapatan Daerah, dan dinas mengenai lainnya.
Mereka perlu memikirkan kerja-kerja nan mungkin belum teridentifikasi dan memberikan perlindungan kepada para pekerja dengan perjanjian kerja berbareng nan menyediakan bayaran layak, agunan kepastian, dan keselamatan kerja.
Selain itu, krusial juga untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekaligus memastikan transparansi dalam pengelolaan perparkiran. Dengan adanya transparansi, kontribusi retribusi dari parkir bakal masuk ke kas negara dan membuka peluang-peluang baru nan berangkaian dengan perkembangan ekonomi daerah.
Namun, menurutnya, untuk mencapai perihal ini, diperlukan sebuah model tata kelola nan terintegrasi, transparan, dan responsif terhadap kritik serta masukan dari masyarakat. Masukan dari masyarakat perlu ditindaklanjuti agar persoalan perparkiran tidak menjadi halangan nan serius.
"Ketika transportasi pribadi ini juga bakal semakin banyak, itu bakal semakin menjadi persoalan agar ini tidak menjadi bottle neck sehingga kudu ditindaklanjuti segala corak input dan masukan dari masyarakat itu," kata Abe.
(rts/pmg)
[Gambas:Video CNN]