TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia turut menyoroti polemik Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui PP Tapera bakal memungut 3 persen dari penghasilan para pekerja di tanah air.
Empat peneliti LPEM FEB UI–Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputra–membuat kajian akademik sebanyak lima belas lembar berjudul Ribut soal Tapera: Kebijakan “Harga Mati” untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?
Peneliti LPEM FEB UI menilai masalah perumahan di Indonesia seringkali dilihat dari aspek keterjangkauan sekaligus nilai kediaman nan kian mahal. Meski muara persoalan sama, mereka menilai akar masalah perumahan tidaklah sederhana.
“Di kembali nilai rumah nan kian mahal, terdapat terdapat rumor inflasi, nilai bahan bangunan, ketidaksesuaian letak rumah nan tersedia dengan letak nan diinginkan masyarakat, serta menurunnya daya beli masyarakat,” kata peneliti LPEM FEB UI nan Tempo kutip pada Kamis, 6 Juni 2024.
Untuk mengatasi kompleksitas ini, peneliti LPEM FEB UI menilai pemerintah perlu menerapkan serangkaian kebijakan sektor perumahan nan terintegrasi. Pemerintah, kata mereka, perlu mengkaji ulang program Tapera dan mengimplementasikan ke beragam kebijakan lainnya agar masalah perumahan dapat teratasi dengan lebih.
“Program Tapera bukan merupakan solusi utama untuk menyediakan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” kata mereka.
Oleh lantaran itu, LPEM FEB UI memberi enam rekomendasi kebijakan nan perlu pemerintah ambil. Adapun, enam rekomendasi kebijakan itu sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu konsentrasi pada spatial mismatch antara kesiapan kediaman dengan preferensi masyarakat dalam penyediaan perumahan.