Usulan Kementerian 'Kepontal' dan No Viral No Gubris

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Dewi Safitri

Dewi Safitri

icon-email

Lulus studi Science Tech in Society dari University College London dan sekarang bekerja untuk CNN Indonesia. Penggemar siaran radio dan teka-teka silang.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Komedian Kiky Saputri tiba-tiba trending (lagi) pekan ini. Kali ini lantaran hanya selang sehari setelah cuitannya di platform X (sebelumnya Twitter) soal nasib CPNS pengajar 2023 nan tak kunjung jelas, Kemendikbud kemudian menerbitkan surat keputusan pengangkatan.

Tentu semua senang, akhirnya keluhan para calon pengajar didengarkan. Kecuali pada fakta, bahwa teriakan soal kacaunya kebijakan kementerian ini sebenarnya sudah sejak lama diangkat - termasuk lewat medsos, medium nan dipakai Kiky Saputri bersuara, jadi kenapa baru sekarang digubris?

Apa kebetulan belaka alias lantaran Kiky seorang selebriti dengan pedoman pengikut besar (hampir 300K di X dan lebih dari 3,2 juta di IG)? Atau lantaran memang kreasi kementerian dan lembaga negara untuk hanya merespons ketika akun besar nan bersuara?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faktanya, sudah tak terhitung berapa rumor nan sukses diangkat jadi kebijakan setelah viral. Mulai dari pembunuhan Vina sampai dengan penganiayaan oleh Mario Dandhy, pengaruh viral adalah pukulan nan memaksa pemerintah dan abdi negara bergerak segera.

Tentu saja nan tetap tak digubris setelah viral pun tak kurang banyaknya, ingat kasus Kanjuruhan nan menewaskan 131 orang? Atau Sandi nan sampai berurai air mata memperjuangkan peremajaan mobil damkar Depok tapi malah mau 'dibina' atasannya?

Kita punya banyak lembaga nan mestinya bisa jadi "saluran resmi" suara-suara viral ini. DPR, DPD, DPRD, semua inspektorat jenderal kementerian/lembaga, KPK, Komnas HAM, sampai meja laporan polisi di 493 Polres dan 1062 Polsek seluruh Indonesia - untuk menyebut sebagian.

Sebelum jadi rumor viral, biasanya laporan-laporan kasus mentok di kanal-kanal tersebut sampai kemudian dilempar ke media sosial dan sukses mendapat atensi publik. Baru setelah ribuan retweet alias repost dan kolom komentar penuh caci-maki kritik, ada reaksi positif.

Dulu pernah ramai istilah no viral no justice untuk menggambarkan kejadian kasus norma baru bakal diusut setelah hangat diperbincangkan di media sosial. Namun sekarang rumor viral tak berbatas rumor hukum, tapi juga rumor lain nan baru digubris setelah ramai, no viral no gubris.

Saking lumrahnya praktik berviral-viral dulu baru ada tindakan kemudian ini, kabarnya ada kandidat ahli asal Indonesia nan sekarang sedang meneliti kejadian viral-based policy ini untuk riset akademiknya.

Apakah viral-based policy jelek?

Semua sekolah nan mengajarkan pengetahuan kebijakan publik bakal mengatakan bahwa kebijakan nan ideal adalah nan dibuat berasas data, bukti alias sains (evidence-based policy). Artinya sebelum dibuat jadi kebijakan, sudah ada studi nan menakar dengan empirik mana nan paling baik nan bisa dipilih. "Paling baik" ini bisa ditafsir macam-macam, tapi dalam konteks publik tentu nan dianggap paling menguntungkan khalayak luas.

Misalnya, dengan biaya Rp1 triliun apakah bakal lebih berfaedah jika bangun masjid alias bikin ruang terbuka publik alias perbaikan transportasi umum? Atau perlukah jalur sepeda dibuang agar lajur kendaraan bermotor lebih leluasa di jalan raya? Atau pilih mana: mending membereskan rumor sampah di seluruh kab/kota di Indonesia alias bangun baru ibukota negara - ini hanya misal lho ya.

Kembali ke pertanyaan jelek dan tidak jelek, apa ada kebijakan nan didesakkan publik luas lewat rumor viral nan jelek? CPNS pengajar menerima SK, bagus. Guru Honorer DKJ batal kena program cleansing, bagus. Kasus Vina bergulir terus sampai hari ini, bagus.

Intinya secara umum, dorongan warganet adalah menciptakan perubahan nan baik lewat bunyi viral mereka - sehingga nan muncul adalah kebijakan nan jelas gunanya. Tentu saja ada risiko, bahwa rumor viral juga sangat bisa direkayasa - seolah bunyi publik, padahal orkestrasi pendengung (buzzer) belaka. Ini banyak muncul di medsos terutama masa Pilpres lalu.

Risiko lain dari ngetopnya sistem viral to policy adalah makin sering kejadian, makin kuat normalisasi metode viral ini. Apa semua kebijakan baik jalannya kudu dari viral dulu? Bagaimana dengan korban nan tak punya akses pada bumi virtual dan platform viral? Apa gunanya UU dan payung norma serta segala macam patokan jika ujungnya nunggu viral? Berapa banyak anggaran negara dipakai untuk mendukung berfungsinya sistem jadi mubazir lantaran rupanya sistem bakal bergerak nunggu dulu jika sudah viral?

Kalau jawabannya apa boleh buat, rupanya pertimbangan logika logis didukung info dan sains saja tak cukup dan tetap perlu keviralan skala nasional, maka mendengar usulan netizen pemakai media sosial jadi masuk akal.

Usulannya begini: daripada menghabiskan banyak anggaran untuk kajian, studi, konvensi ahli, lembaga dan kementrian macam-macam, gimana jika dibentuk lembaga unik pemantau rumor viral saja sebagai landasan penyusunan kebijakan? Usulan nama (disingkat Kepontal) barangkali cukup layak dipertimbangkan.

(sur/sur)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional