TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan soal seluruh pekerja wajib bayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera nan sempat menuai polemik akhir-akhir ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera itu dilayangkan atas nama pemohon Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung.
Gugatan UU Tapera ke MK tersebut didaftarkan pada Selasa malam, 18 Juni 2024 dan dicatat Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) nomor 75/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024. Adapun pasal-pasal dalam UU Tapera nan menjadi materi gugatan dan dinilai merugikan para pemohon ialah Pasal 7 ayat (1), ayat (2), frasa “atau” dan frasa “sudah kawin” ayat (3), serta Pasal 72 ayat (1) huruf e dan f.
Berikut bunyi pasal-pasal tersebut:
1. Pasal 7 ayat (1)
“Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri nan berpenghasilan paling sedikit sebesar bayaran minimum wajib menjadi Peserta.”
2. Pasal 7 Ayat (2)
“Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nan berpenghasilan di bawah bayaran minimum dapat menjadi Peserta.”
3. Pasal 7 Ayat (3)
“Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berumur paling rendah 20 tahun alias sudah kawin pada saat mendaftar.”
4. Pasal 72 ayat (1) huruf e dan f.
Peserta, Pemberi Kerja, BP Tapera, Bank/Perusahaan Pembiayaan, Bank Kustodian, dan Manajer Investasi nan melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 19, Pasal 30, Pasal 64, Pasal 66, Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 dikenai hukuman administratif berupa:
a. Pembekuan izin usaha; dan/atau
b. Pencabutan izin usaha.
Menurut pemohon, keberlakuan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera telah menimbulkan persoalan baru untuk semua penduduk negara Indonesia, terkhusus Pemohon mengalami kerugian constitutional akibat pemberlakuan pasal tersebut. Hal ini didasarkan bahwa Tapera telah menguras pendapatan masyarakat rendah sedangkan biaya hidup semakin tinggi plus dipotong BPJS dan biaya lainnya.
“Terjadinya pengurangan penghasilan akibat adanya iuran Tabungan Perumahan Rakyat menambah beban finansial nan bakal dirasakan oleh PEMOHON I belum lagi ada potongan BPJS sebesar 5% (lima persen) dari Gaji alias Upah per bulan (Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan) dll,” tulis pemohon, seperti dilihat Tempo, Sabtu, 22 Juni 2024.
Iklan
Pemohon juga berpotensi bakal terlanggar haknya dengan keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Tapera. Pemohon bakal menghadapi persoalan financial. Hal ini dapat terjadi dengan bayaran di bawah minimum nan merupakan bayaran nan tidak seberapa dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain kudu diperhadapkan dengan pengurangan penghasilan akibat adanya potongan 3 persen simpanan Tapera.
Bagi pemohon, penerapan Pasal 7 ayat (3) menimbulkan ketidakjelasan tolak ukur penetapan peserta Tapera, Apakah berumur 20 Tahun alias pada saat sudah kawin? Penggunaan frasa “atau” juga menimbulkan celah norma bahwa sangat mungkin seseorang nan sudah bekerja bakal tetapi belum kawin sangat mungkin membikin seseorang tersebut mengulurkan kepesertaannya pada saat sudah kawin.
“Kondisi celah norma ini lah membikin Pemohon I diperlakukan secara tidak setara dan tidak ada kepastian hukum,” tulis pemohon.
Selain itu, penggunaan frasa “atau” pada Pasal 7 ayat (3) UU Tapera sangat berpotensi menimbulkan persoalan konstitusi kepada masyarakat nan bakal tidak alim pada program Tapera. Alasannya, frasa “atau” sebagai pilihan pengganti seseorang dapat menjadi peserta Tapera. Oleh lantaran itu pemohon menyadari Mahkamah berkuasa memberikan penafsiran terhadap ketentuan sebuah pasal dalam undang-undang agar sesuai dengan nilai-nilai konstitusi.
“Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam undang-undang merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) nan berkekuatan hukum. Oleh lantaran itu, terhadap pasal-pasal nan berarti ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi,” tulis pemohon.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, pemohon mengusulkan permohonan dalam petitumnya agar MK:
1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Atau menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera sepanjang frasa “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri nan berpenghasilan paling sedikit sebesar bayaran minimum wajib menjadi Peserta” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap pekerja dan pekerja berdikari bertanggung jawab menjadi peserta berasas kemauan dari pekerja dan tanpa paksaan”.
Atau menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera sepanjang frasa “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri nan berpenghasilan paling sedikit sebesar bayaran minimum wajib menjadi Peserta” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap pekerja dan pekerja berdikari nan menjadi peserta atas dasar kesepakatan antara pekerja dengan pemberi kerja”.
3. Menyatakan Pasal 7 ayat (3) UU Tapera sepanjang frasa “atau” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sepanjang frasa “sudah kawin” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
4. Menyatakan Pasal 72 ayat (1) huruf e dan f UU Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Atau andaikan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat lain, minta untuk diputus seadil-adilnya (ex aequo et bono),” tulis pemohon.
Pilihan Editor: Tipu Daya Tapera Jokowi