Warga RW 12 Karya Bhakti, Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, mengeluhkan keberadaan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Harjamukti. SPPG tersebut mulai beraksi untuk menyiapkan menu makan bergizi gratis pada Agustus 2025. Saat ini, SPPG Harjamukti melayani 3.800 porsi makanan bergizi per hari.
Dua hari setelah dapur beroperasi, penduduk sudah mencium aroma tidak sedap dari selokan alias drainase sekitar pemukiman. Ketua RW 12, Nazar, menduga aroma itu berasal dari limbah dapur SPPG. “Awalnya hanya penduduk RT 04 dan RT 06 nan komplain. Saya juga sudah memanggil pihak yayasan,” kata Nazar, Senin, 29 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Yayasan mengaku ada limbah nan keluar dan sudah menanganinya. Namun dua minggu kemudian, aroma menyebar lebih luas, dari RT 01 hingga RT 06.
Warga juga memprotes penumpukan sampah serta penggunaan akomodasi umum untuk parkir kendaraan dan tempat sampah. Bahkan menurut dia, hingga saat ini pengelola SPPG tidak mengusulkan izin, dan pengurus RW belum menyetujui pihak SPPG untuk mengggunakan area tersebut.
Warga menuntut pengelola membenahi dapur nan memproduksi makanan bergizi cuma-cuma itu. “Kami memberi waktu dua minggu kepada pengelola SPPG untuk melakukan pembenahan,” tegas Nazar.
Ia melanjutkan, jika tidak ada perubahan, penduduk bakal mengusulkan penutupan sementara ke lembaga terkait. “Kami bukan menolak keberadaan dapur, tapi tolong juga hargai kami sebagai penduduk nan terdampak,” ujarnya. Warga meminta perbaikan terutama pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) agar tidak mengganggu kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Perwakilan Yayasan Pesarean Buyut Kilayaman, Deni Aulia Fathul Munir, menjelaskan pihaknya membangun SPPG sesuai patokan Badan Gizi Nasional (BGN), termasuk soal Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Ia menyatakan SPPG sudah mempunyai penampungan limbah, hanya saja salurannya juga masuk ke saluran warga. “Tapi memang butuh pendampingan lebih intens,” kata Deni.
Koordinator Wilayah BGN Kota Cirebon, Ashar Saputra, menuturkan pihaknya memverifikasi dapur sebelum patokan baru IPAL berlaku. “Waktu itu juknisnya belum secara perincian membahas kapabilitas dan spesifikasi IPAL. Verifikasi hanya memastikan bahwa IPAL sudah ada tapi tidak diuji kapasitasnya,” jelas Ashar.
Ashar menyayangkan pengelola tidak berkoordinasi dengan penduduk sekitar. “Seharusnya ada koordinasi dari awal dengan RT, RW, dan Dinas Lingkungan Hidup,” ujarnya. Ia menyebut BGN bakal merekomendasikan dua opsi kepada pusat, ialah menghentikan sementara operasional dapur untuk perbaikan menyeluruh, alias melanjutkan operasional dengan menu kering sembari perbaikan berjalan.