YLBHI Nilai Perjuangan Warga Rempang Simbol Perlawanan Melawan Eksploitasi Kapitalisme

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai perjuangan masyarakat Rempang dalam menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City sebagai bagian dari aktivitas dunia melawan pemanfaatan kapitalisme nan semakin menakut-nakuti hak-hak masyarakat lokal di beragam bagian dunia. Isnur menegaskan rumor nan dihadapi masyarakat Rempang bukan hanya masalah lokal, tetapi bagian dari perjuangan universal nan juga terjadi di negara lain.

“Persoalan di Rempang bukan hanya soal Indonesia, ini soal masalah universal. Ini masalah global. Ini masalah nan terjadi di Amazon juga, di Afrika dan negara-negaranya,” tegas Isnur dalam konvensi pers bertema Rempang Belum Tumbang, Tolak PSN Rempang Eco-City yang diadakan di instansi Eksekutif Nasional Walhi, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Agustus 2024.

Di Amazon, masyarakat budaya seperti suku Yanomami menghadapi ancaman serius dari deforestasi, perambahan lahan, dan aktivitas penambangan ilegal. Mengutip laman United Nations Human Rights, penambangan emas, nan dikenal sebagai garimpeiros, telah merusak rimba dan mencemari sungai dengan merkuri nan sangat merugikan lingkungan dan kesehatan masyarakat adat. Aktivitas ini tidak hanya menghancurkan ekosistem lokal tetapi juga membawa penyakit, seperti malaria, dan meningkatkan malnutrisi di kalangan masyarakat nan berjuntai pada rimba untuk pangan mereka.

Selain itu, di bawah pemerintahan mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat budaya semakin dilemahkan. Bolsonaro terang-terangan mendukung pemanfaatan rimba Amazon untuk kepentingan ekonomi, meskipun perihal tersebut melanggar norma nan melindungi wilayah adat. Ini menciptakan situasi di mana masyarakat budaya kudu berjuang keras untuk mempertahankan tanah mereka dari perambahan dan eksploitasi.

Di Kenya, negara Afrika bagian Timur, masyarakat budaya Ogiek telah lama menghadapi ancaman pengusiran dari tanah leluhur mereka di Hutan Mau, sebuah area rimba nan menjadi sumber utama mata pencaharian dan identitas budaya mereka. Amnesty International menyebut Pemerintah Kenya berupaya mengusir masyarakat budaya Ogiek dengan argumen konservasi lingkungan, meskipun organisasi ini telah hidup selaras dengan alam selama berabad-abad.

Iklan

Menurut Isnur, kejadian ini menunjukkan pola pemanfaatan nan sama di Indonesia, di mana pemerintah dan perusahaan besar bekerja sama untuk mengeruk kekayaan alam tanpa memedulikan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dia menyamakan pendekatan pemerintah Indonesia terhadap wilayah seperti Rempang dengan praktik-praktik kolonial di masa lalu, nan menganggap wilayah-wilayah tertentu sebagai aset nan bisa dijajah dan dieksploitasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal maupun adat. “Jokowi, Bahlil, Luhut, memandang Halmahera, memandang Maluku, Sulawesi, persis seperti dulu para gubernur dan ratu di Belanda, memandang pulau-pulau di Halmahera,” ujar Isnur.

Isnur mengingatkan pentingnya membangun solidaritas internasional untuk mendukung perjuangan masyarakat Rempang. Dia membujuk masyarakat dunia untuk berasosiasi melawan kapitalisme nan terus menerus mengorbankan masyarakat budaya dan lingkungan. “Maka mari kita bersolidaritas seluruh bumi untuk gimana menjaga Rempang agar bisa bertahan,” serunya.

Perlawanan masyarakat Rempang, menurut Isnur, dapat menjadi inspirasi bagi aktivitas serupa di seluruh bumi nan juga berjuang melawan pemanfaatan kapitalisme. Dia percaya dengan solidaritas global, masyarakat budaya dan organisasi lokal bisa lebih kuat mempertahankan hak-hak mereka di tengah tekanan pembangunan nan semakin intens.

Pilihan editor: Koalisi Masyarakat Adat singgung Pidato Jokowi di HUT RI ke-19: Nawacita Hanya Tipuan

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis