TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menjelaskan argumen kenapa Indonesia belum bisa menyamai pencapaian negara-negara Nordik. Menurut dia, kondisi itu disebabkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia tetap tergolong rendah.
Perbandingan Indonesia dengan negara-negara Nordik awalnya disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Jesuit Indonesia di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Kamis, 30 Mei 2024. Bendahara negara itu mengaku kerap mendengar celetukan soal kenapa pendidikan di Indonesia (sampai perguruan tinggi) tidak cuma-cuma seperti di negara-negara Nordik.
Negara-negara Nordik terdiri dari Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia, serta Kepulauan Faroe, Greenland, dan Åland. Blok negara nan berada di area Eropa Utara ini kerap dijadikan patokan sebagai negara ideal. Berdasarkan World Happiness Report 2021, lima negara Nordik menempati tujuh besar jejeran negara paling senang di dunia.
Prastowo menjelaskan, penyediaan akomodasi serba cuma-cuma di negara maju itu lantaran ada peran pengeluaran publik dari negara nan besar dalam ekonomi. Menurut dia, peran besar negara itu ditopang oleh penerimaan pajak. Sementara itu, rasio pajak di Indonesia tetap relatif lebih rendah dari negara-negara Nordik. “Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak bayar pajak penghasilan,” ujar Prastowo dalam postingannya di media sosial X (dulunya Twitter), Rabu, 5 Juni 2024.
Menurut Prastowo, rasio pajak nan tetap rendah itu disebabkan oleh pendapatan masyarakat nan tetap rendah dan adanya keringanan pajak untuk melindungi pendapatan masyarakat. Dua aspek ini, kata dia, mempengaruhi keahlian penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP). Kontribusi PPh OP di Indonesia, tetap rendah dibandingkan negara Nordik. “Ini berakibat pada keahlian penerimaan pajak secara keseluruhan (tax ratio), mengingat kontribusi dari PPh OP nan tinggi menjadi kunci kenaikan tax ratio,” ujarnya.
Iklan
Dengan rasio pajak nan tetap relatif rendah dibandingkan negara-negara Nordik, kata Prastowo, keahlian negara dalam ekonomi juga lebih terbatas. Akibatnya, pemerintah mempunyai keterbatasan dalam menyediakan akomodasi dan pelayanan kepada masyarakat.
Prastowo menjelaskan, sistem dan praktik di negara Nordik nan efektif, bisa menjadi referensi bagi Indonesia. Acuan itu berupa rasio pajak tinggi, kontribusi perseorangan besar, pelayanan publik bagus. Untuk itu, Indonesia kudu meningkatkan pendapatan dan kepatuhan perseorangan soal pajak, memperkuat sistem, dan kebijakan nan pro kepada pemerataan nan berkeadilan. “Ini pekerjaan rumah nan besar dan mesti dipikirkan. Beberapa sudah dan sedang disiapkan,” kata dia.
Selain itu, kata Prastowo, ada perihal lain nan kudu dipenuhi untuk menyamai negara-negara Nordik. Prasyarat itu adalah ditekannya korupsi agar penyelenggaraan pemerintahan bisa melangkah baik.
HAN REVANDA PUTRA