TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan dari 2016 hingga 2022 pemerintah telah mengalokasikan Rp569,3 triliun dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) untuk kebijakan perubahan iklim. Ia mengatakan Indonesia berkomitmen untuk mempercepat penggunaan daya bersih dengan porsi anggaran tersebut.
Dari total alokasi anggaran tersebut, Rp332,8 triliun digunakan untuk mitigasi, kemudian Rp214,2 triliun untuk penyesuaian dan Rp22,3 triliun untuk co benefit. Kendati demikian, Suahasil mengakui saat ini tetap ada sejumlah tantangan nan dihadapi Indonesia menuju transisi energi nan berkeadilan.
"Bukan berfaedah Indonesia niatnya jadi berkurang alias dukungannya untuk ekonomi nan lebih hijau dan berkelanjutan. Kita bakal terus berupaya untuk memenuhi. Kita muncul dengan logika transisi nan setara dan terjangkau," katanya saat memberikan sambutan dalam peluncuran hasil riset tentang perdagangan dan investasi berkelanjutan, Senin, 1 Juli 2024.
Ia melanjutkan percepatan menuju ekonomi hijau kudu memerhatikan aspek keadilan. Dia menegaskan transisi berkeadilan adalah keniscayaan dan tidak dapat dihindari. Untuk itu, kata dia, butuh waktu agar target-target bisa transisi daya bisa tercapai. "Ini mungkin nan butuh waktu, tidak mungkin terjadi dalam waktu nan singkat dan kita sangat mendukung dalam perihal ini," katanya.
Akan tetapi, menurut sejumlah pihak, komitmen pemerintah menuju transisi daya banyak bertolak belakang dengan kebijakan perubahan iklim. Bhima Yudhistira, peneliti dari Center of Economics Law Studies (CELIOS), mengatakan hingga 2030, orientasi investasi Indonesia tetap bakal bertumpu pada batu bara dan nikel.
Sehingga, Bhima, pemerintah terkesan tidak serius dalam mencapai sasaran nan telah ditetapkan, ialah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. "Sekarang problem-nya adalah gencarnya pembukaan semlter nikel dengan sumber daya utama menggunakan PLTU batu bara," ujar Bhima kepada Tempo, Selasa, 2 Juli 2024.