TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Karantina Indonesia, Sahat Manaor Panggabean, mengatakan telah melakukan persiapan untuk mengimpor sapi dari Brasil. Impor ini bermaksud mendukung program makan bergizi gratis nan diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto.
Sahat menyampaikan Badan Karantina sudah berkomunikasi dengan Brasil untuk memastikan sapi nan diimpor bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Ia menambahkan sapi tersebut berasal dari wilayah nan bebas PMK.
"Itu rencananya bakal masuk ke Indonesia dari Brasil, dan sebenarnya berasal dari wilayah nan bebas PMK. Di sana ada dua jenis, nan bebas PMK tanpa vaksinasi, dan nan bebas PMK dengan vaksinasi," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat berbareng Komisi IV DPR RI, di Kompleks Parlemen, Selasa, 19 November 2024.
Untuk memastikan kondisi tersebut, Badan Karantina berencana mengunjungi Brasil secara langsung untuk melakukan pemeriksaan. Salah satu agenda adalah memastikan laboratorium nan digunakan untuk menguji sapi telah memenuhi legalisasi dan standar nan ditetapkan oleh Indonesia.
Selanjutnya, Sahat menyatakan bakal memeriksa kondisi pelabuhan di Brasil nan bakal digunakan untuk pengiriman sapi ke Indonesia. Ia menegaskan pentingnya memastikan sapi tidak transit di negara lain untuk mencegah penyebaran penyakit dari letak transit tersebut.
Sahat menegaskan upaya memastikan kesehatan sapi impor tidak berakhir di luar negeri. Sapi-sapi tersebut bakal disesuaikan dengan kondisi sebaran PMK di Indonesia. Jika sapi bakal dikirim ke wilayah nan belum bebas dari PMK, vaksinasi kudu dilakukan sejak di Brasil. "Sehingga ketika sampai di Indonesia sapinya tetap sehat," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) merencanakan impor sapi hidup ke Indonesia untuk mendukung kesiapan susu dan daging bagi program makan bergizi gratis. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menegaskan pengadaan tersebut tidak menggunakan anggaran pendapatan dan shopping negara (APBN).
"Ini tidak pakai APBN. Kalau kita mengharapkan swasembada daging dan susu hanya dengan indukan nan ada saat ini, mungkin butuh waktu ratusan tahun," ujar Sudaryono saat ditemui di Kementan, Jakarta, Selasa, 29 Oktober 2024.