TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menyatakan 60 persen industri tekstil dan produk tekstil (TPT) anggotanya nan merupakan Industri Kecil Menengah (IKM) sekarang tak lagi beroperasi. Dia menyebut gelombang gulung tikar ini disebabkan oleh banjir impor tekstil ke dalam negeri sepanjang dua tahun terakhir.
“Pasar dalam negeri kita baik offline maupun online disikat semua oleh produk impor nan harganya tidak masuk akal,” ujar Nandi melalui keterangan tertulis, Kamis, 20 Juni 2024.
Dia menduga peralatan impor itu masuk secara ilegal. Sebab, menurut dia, nilai barang-barang itu dipasarkan dengan sangat murah, apalagi di bawah nilai bahan bakunya. Kalau impor garmen secara resmi, kata dia, semestinya ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan bea safeguard-nya. “Jadi tidak mungkin per potongnya dijual di bawah nilai Rp 50.000,” kata dia.
Dengan nilai nan sangat murah ini, dia mengatakan para pengusaha baik IKM maupun perusahaan besar tidak bakal kuat menghadapi persaingan dengan produk-produk impor. Karena itu, dia mengaku tak heran banyak perusahaan mini dan besar dari hulu sampai hilir melakukan PHK, apalagi menutup pabrik mereka.
Ia berambisi pengusaha IKM tekstil mendapatkan ruang lebih besar di pasar dalam negerinya sendiri. Sebab, dia menilai daya beli di Indonesia tetap cukup besar, terlebih dengan inflasi nan tetap relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. "Saya percaya jika pasar domestiknya dijaga, setidaknya 70 persen pasarnya dikuasai pasar lokal, maka IKM Indonesia bakal maju," ucap dia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana menjelaskan argumen industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri gulung tikar. Menurut dia, penyebab kebangkrutan nan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal itu tak semata disebabkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Iklan
Mantan Ketua Ombudsman itu menjelaskan importasi barang-barang tekstil dan garmen jadi telah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Puncaknya pada 2023, peralatan tekstil impor, baik legal maupun ilegal, menumpuk. Sisa barang-barang impor itu kemudian menjadi jenuh di pasar domestik Indonesia.
Pasar-pasar di Indonesia pun kemudian memasarkan barang-barang impor nan tetap tersisa itu kepada masyarakat. Namun, pemasaran ini tidak dibarengi dengan daya beli masyarakat nan tetap relatif rendah. Akhirnya, kata Danang, produk-produk impor itu menumpuk.
“Market domestik kita jenuh dengan produk-produk impor nan sudah terjadi bertahun-tahun,” ujar dia saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat, 14 Juni 2024.
Pilihan Editor: Industri Tekstil Dalam Negeri Gulung Tikar, API: Karena Kemendag Longgarkan Impor