TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto berencana mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nan bakal memberikan pemutihan utang petani, dan pelaku upaya mikro. Langkah ini bermaksud untuk memperbaiki akses angsuran bank ke beragam sektor usaha, termasuk di kalangan UMKM, petani, dan nelayan.
Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM dari INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam menjalankan kebijakan ini, mengingat adanya akibat moral hazard. Ia menyatakan bahwa program pemutihan sebaiknya lebih diutamakan bagi UMKM nan belum pernah mendapatkan akses pembiayaan. Selain itu, untuk memastikan support mencapai sasaran nan tepat, pelaku upaya mikro perlu dievaluasi keahlian usahanya. Bagi upaya kelas menengah, lanjut Eisha, kebijakan akses pembiayaan juga kudu ditinjau agar akibat moral hazard bisa diminimalkan.
Dari perspektif lain, ahli ekonomi CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut bahwa rencana pemutihan utang ini bakal memerlukan penyesuaian regulasi, terutama lantaran perubahan patokan semacam ini memerlukan waktu. Ia menjelaskan bahwa penghapusan utang dari lembaga konvensional, seperti bank, memerlukan izin unik untuk memastikan implementasinya melangkah sesuai hukum. Menurutnya, meskipun pemerintah sudah mempunyai peraturan mengenai penghapusan angsuran macet untuk UMKM, penerapannya untuk sektor pertanian tetap perlu dikaji lebih lanjut.
Yusuf menambahkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebut bahwa penghapusan tagihan dianggap sebagai kerugian negara, sehingga perlu kehati-hatian dalam menerapkan kebijakan ini agar tidak melanggar izin nan ada.
Drajad Hari Wibowo menegaskan bahwa program pemutihan utang untuk petani dan nelayan tidak bakal mencakup pengguna pinjaman online nan berkarakter konsumtif, lantaran perihal itu berisiko menimbulkan moral hazard. Ia menyatakan bahwa pemutihan difokuskan pada utang produktif, seperti Kredit Usaha Produktif (KUP), nan bermaksud membantu petani dan nelayan nan kesulitan dalam pelunasan utang. Meskipun ada kemungkinan pertimbangan terhadap utang pada platform fintech P2P lending, pemerintah mau memastikan bahwa pemutihan ini hanya menyasar mereka nan betul-betul memerlukan bantuan.
Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, menyampaikan bahwa ketimpangan dalam kepemilikan lahan pertanian di Indonesia telah mencapai kondisi nan sangat serius. Menurutnya, sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem, dengan jumlah mencapai sekitar 16,8 juta jiwa. Masalah utama nan dihadapi petani bukan hanya utang, tetapi keterbatasan lahan nan sangat mendesak. Tingkat ketimpangan kepemilikan tanah juga dinilai sangat tinggi, mencapai 0,7 persen, menunjukkan bahwa sebagian besar lahan dikuasai oleh segelintir pihak.
Selain kepemilikan lahan nan minim, biaya sewa lahan untuk bercocok tanam juga tergolong tinggi dan menjadi salah satu komponen biaya terbesar dalam upaya tani. Henry menyebut bahwa nilai sewa tanah per hektar berkisar antara 10 hingga 20 juta rupiah, dan perihal ini semakin memberatkan petani gurem dalam upaya mereka.
Menurut Henry, upaya pemutihan utang petani alias kemudahan akses angsuran tidak bakal signifikan dalam meningkatkan kondisi petani jika ketimpangan kepemilikan tanah tidak diatasi. Distribusi lahan kepada petani dianggap sebagai langkah mendasar nan perlu dilakukan untuk membangun sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Ia beranggapan bahwa redistribusi tanah tidak hanya krusial untuk produktivitas pertanian tetapi juga sebagai upaya mengurangi kemiskinan di desa, mengingat karakter agraris masyarakat pedesaan. Peningkatan hasil pertanian bakal susah tercapai jika kebanyakan petani tetap termasuk dalam kategori petani gurem.
MICHELLE GABRIELA | YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | ANTARA | VEDRO IMANUEL G
Pilihan editor: Perpres Pemutihan Utang Petani dan Nelayan Segera Diterbitkan oleh Prabowo, Target Berapa Orang?